Tak hentinya saya berdecak kagum saat melintasi Lembah Baliem. Alam liar membentang sepanjang mata memandang. Pegunungan Jayawijaya berderet gagah di kejauhan, menjadi penyangga langit biru berhias awan. Hari itu, Jumat (10/8/2012), saya dan rombongan wartawan yang meliput Festival Lembah Baliem 2012 berada dalam satu mobil. Melaju di jalanan mulus beraspal, menuju satu tempat terpencil yang katanya sangat indah.
Sebuah jembatan gantung menyapa kami dari kejauhan. Namanya Jembatan Kuning, yang menghubungkan jalan utama dengan Distrik Maima di Kabupaten Jayawijaya, Papua. Sesuai namanya, tiang besi di pintu jembatan itu dicat kuning. Jembatan yang cukup panjang, melintasi Sungai Baliem dengan air kecoklatan, namun dingin tak terelakkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Distrik Maima adalah sebuah desa mungil yang sangat cantik, layaknya desa-desa di Norwegia sana. Kontur tanahnya berundak, karpet rumput hijau membentang, bangunan-bangunan kayu berdiri cantik di atasnya. Bendera Indonesia berkibar di atas tiang, diterpa sinar mentari yang saat itu cemerlang. Kediaman Pak Bupati, John Wempi Wetipo, adalah rumah kayu sederhana dua lantai yang menghadap lanskap menawan.
Namun, Distrik Maima bukan tujuan kami saat itu. Ada rasa penasaran di balik kunjungan kami ke "Telaga Biru", sebuah danau yang konon, berair biru toska. Danau itu tersembunyi di balik bukit terjal, dikelilingi tebing hijau yang menghalanginya dari lanskap sekitar.
Butuh 1 jam trekking dari Distrik Maima menuju Telaga Biru. Bukan hal yang mudah, mengingat medan tanah licin dan tanjakan yang cenderung terjal. Saat sepatu sudah licin karena lumpur, kami harus melewati satu batang kayu sepanjang 3 meter yang melintasi sungai mungil berarus kencang. Ngeri! Untunglah ada 6 anak laki-laki setempat yang menolong kami melewati trek ganas itu.
Sesuai dugaan, perjuangan kami berbuah kepuasan. Telaga Biru eksotis luar biasa. Warnanya biru toska, dengan sedikit gradasi hijau pengaruh pepohonan rimbun di sekitarnya. Danau itu tak terlalu besar, namun tak tampak dasarnya karena warna biru yang sangat mencolok.
Setelah jepret sana-sini, saya bertanya kepada salah satu anak yang jadi "pemandu dadakan" kami. Boleh berenang tidak di sini?
"Tidak boleh. Di sini suci, nggak boleh ada yang berenang," begitu kata Rico, murid kelas 2 SMP yang luar biasa ramah. Rico lanjut bercerita, dulu ada turis yang berenang di sini. Turis itu malah menemukan Honai (rumah adat khas Papua) di permukaan danau itu.
"Katanya orang pertama di Papua berasal dari tengah danau ini," jawab Rico.
Apa pun legendanya, Telaga Biru berhasil membuat saya tersihir. Kunjungan waktu itu sekaligus menyadarkan diri sendiri, begitu banyak tempat indah yang belum terjamah di Papua. Wisatawan hanya perlu mengeksplorasi, lalu melakukan apa yang disebut "responsible traveling", agar tempat yang didatangi tak menjadi rusak atau dieksploitasi.
(sst/fay)
Komentar Terbanyak
Didemo Pelaku Wisata, Gubernur Dedi: Jelas Sudah Study Tour Itu Piknik
Forum Orang Tua Siswa: Study Tour Ngabisin Duit!
Pendemo: Dedi Mulyadi Tidak Punya Nyali Ketemu Peserta Demo Study Tour