Mencari Pantulan Cahaya di Gua Batu Cermin, Flores

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Mencari Pantulan Cahaya di Gua Batu Cermin, Flores

- detikTravel
Jumat, 24 Agu 2012 15:20 WIB
Lubang cahaya di Gua Batu Cermin (Shafa/detikTravel)
Labuan Bajo - Gua Batu Cermin, dinamakan demikian karena air di dasar gua di Flores ini memantulkan cahaya dari matahari. Namun sekarang, sudah sulit menemukan kilau tersebut. Kenapa?

Seorang pria bernama Aven memakai celana cargo dan baju kuning panjang bertuliskan Ranger di punggungnya. Ia menjadi pemandu detikTravel bersama rombongan Adira Finance selama berada di Gua Batu Cermin, Labuan Bajo, Flores Barat, NTT, beberapa waktu lalu. Setelah melewati jalan setapak yang dihias pepohonan rindang, akhirnya kami sampai di depan gua yang menjulang hingga 75 meter.

Bagian depan gua menyapa kami dengan cukup dramatis. Sinar mentari melesak melalui sela batang bambu dan lekuk bebatuan di gua tersebut. Deret anak tangga semen menunggu kami di sebelah kiri. Masih terperangah indah panorama pembuka, kami memasuki komplek gua sambil menengok ke kanan dan kiri. Sambil menjelajah lebih dalam, beberapa anggota kerap bertanya di mana bagian "cermin"nya?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Intinya ada di dalam," ujar Aven dengan nada yang misterius.

Tak lama, kami dihadapkan dengan mulut gua setinggi setengah meter. Seperti lubang hitam, pintu masuk gua ini tak bercahaya sama sekali. Tak lama, Aven membagikan senter kepada masing-masing orang. Kami pun masuk dengan disambut angin dingin dari dalam gua.

"Hati-hati kepala, banyak stalaktit di sini," kata Aven dengan suara lantang.

Kami jalan menunduk penuh hati-hati, berkali menyorotkan senter ke atap gua demi menghindari batu yang menggantung di atas gua. Beberapa kali kami harus berhenti dan mengagumi stalaktit dan stalagmit yang berkilau. Menurut Aven, kilau ini berasal dari kandungan garam yang ada di dalam air yang mengalir kala hujan turun. Yang pasti, bebatuan tersebut sangat indah baik untuk dilihat atau diabadikan dalam kamera.

Selesai jalan jongkok, kami sampai di bagian perut gua. Di situ kami sudah bisa berdiri karena atap gua mencapai 2 meter. Batuan berbentuk mirip kura-kura disebut-sebut sebagai fosil penyu. Tak sabar melihat "cermin", kami buru-buru meminta Aven membawa kami menuju bagian tersebut. Melalui celah selebar 1 meter, kami menuju inti dari perjalanan kali ini.

"Itu lubang tempat matahari menyorotkan sinar ke permukaan air di dalam gua," ucap Aven.

Serentak kami menengok ke atas gua. Di sana ada lubang dengan diameter sekitar 2 meter yang membawa sinar matahari. Tak bisa terlalu lama memandangi lubang itu karena sinar yang masuk sangat terang. Sambil mencari angle tepat untuk memfoto lubang cahaya, saya berjalan ke celah satunya sambil iseng bertanya di mana "cermin"nya.

"Di situ," kata Aven sambil menunjuk tempat saya berdiri.

Tidak ada apa-apa kecuali celah sempit selebar 3/4 meter dengan dasar tanah keras dan beberapa batuan tumpul. Aven mengungkapkan bahwa dulunya, celah tersebut adalah cermin yang memantulkan cahaya matahari. Namun semakin lama, perlahan air menyurut dan lama-kelamaan hilang, terutama saat musim kemarau.

"Cermin" tersebut masih bisa dilihat saat sedang musim hujan. Itu pun harus menunggu hujan beberapa kali baru air bisa memenuhi celah tersebut. Menunggu musim hujan di kawasan Indonesia Timur cukup sulit karena curah hujan di sana tidak terlalu tinggi. Akankah menemukan keindahan asli objek wisata di Indonesia akan jadi sesulit itu?

(shf/fay)

Hide Ads