Minggu sore itu di akhir September, Museum Taman Prasasti di Jl Tanah Abang I, Jakarta Pusat, tampak sepi-sepi saja. Di jalan raya, anak-anak sudah siap bermain bola di jalanan. Kaki ini pun dilangkahkan masuk ke dalam museum.
Seorang pria menyambut ramah dan mengucap selamat datang. Dikiranya saya bagian dari rombongan klub fotografi yang sudah datang duluan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selalu sepi dan sunyi, beginilah suasana museum terbuka seluas 1,2 hektar ini. Memang jarang wisatawan datang, selain penikmat sejarah atau penghobi fotografi. Mereka datang karena ada banyak koleksi nisan yang menarik dan antik, juga kereta jenazah yang antik.
Saat itu sedang dilakukan renovasi di Museum Taman Prasasti. Para tukang sepertinya memperbaiki paving blok dan parit pada jalanan taman yang mengitari area pemakaman.
Saya nikmati detil dari sejumlah makam, dengan aneka patung malaikat dan aneka bentuk salib. Setelah puas menonton para fotografer memfoto model berkostum penyihir, saya pun mencari makam Soe Hok Gie. Aktivis mahasiswa UI pada dekade 1960-an, yang dimakamkan di sini.
Saya menemukan Soe Hok Gie di bagian tengah agak ke belakang, di bawah sebuah pohon. Nisannya miring. Tertulis 'Soe Hok Gie', 17 Desember 1942 - 16 Desember 1969. Di bawahnya lagi ada sebuah tulisan.
"Nobody knows the troubles. I see nobody knows my Sorrow."
Gie... andai orang-orang memahami kegalauanmu. Kau selalu menjadi orang yang mengkhawatirkan zaman. Sepertinya, politik Indonesia dan para manusianya belum banyak berubah dari sejak kau meninggalkan dunia fana ini.
Sorot matahari sore yang membelai pipi malaikat di batu nisan Gie, seperti tidak bisa mengusir kegalauan itu. Nikmati sajalah angin sepoi-sepoi berhembus di Museum Taman Prasasti yang tenang ini. Hingar-bingar suara klakson dan kendaraan manusia-manusia Jakarta menjadi suara latar dari kejauhan.
Saat matahari kian turun, itulah waktunya meninggalkan museum. Sungguh tempat ini adalah sebuah destinasi wajib untuk para wisatawan yang datang ke Jakarta. Suasananya, sejarahnya, ini adalah kepingan masa silam Jakarta sejak masih bernama Batavia. Luar biasa!
Kuucap selamat tinggal pada Gie dan terima kasih atas sore yang tenang namun galau itu. Di depan museum, bocah-bocah riang tertawa bermain bola di tengah jalan, dan meledek pengendara motor yang nyaris menyerempet salah satu bocah itu. Gie, apa ya yang berubah dari Jakarta sejak 1969?
(fay/fay)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari Trump: Kita Perlu Membesarkan Garuda
Prabowo Mau Borong 50 Boeing 777, Berapa Harga per Unit?