Gorgorius Tapoona, begitu nama pria ini. Dia menghampiri saya yang sedang melihat-lihat bengkel 'peledang', kapal khusus berburu paus di pinggir pantai Desa Lamalera. Ia tampak santai dengan kaos oblong biru tua dan celana motif tentara.
Dibandingkan ukuran tubuh pria pada umumnya, Gorgorius tergolong kecil. Namun dibanding pria usia 47 yang lainnya, tubuh Gorgorius kekar! Otot menonjol di bagian lengan dan kakinya. Kepalanya botak, kulitnya cokelat tua akibat banyak berinteraksi dengan matahari. Di tangan kanannya terpatri tato salib.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gorgorius adalah salah satu dari 100-an lemafa yang tinggal di Desa Lamalera, Kabupaten Pulau Lembata, NTT. Walaupun tak ditunjuk secara adat, jadi lemafa bukannya tanpa syarat.
"Harus bisa berdiri di ujung kapal. Seimbang," tegasnya.
Ini bukan perkara mudah. Berdiri di ujung perahu yang digoyang ombak, tanpa jatuh, butuh keahlian khusus. Sebelum menjadi lemafa, Gorgorius sudah bisa melakukannya di perahu yang lebih kecil dari 'peledang'.
"Saya jadi lemafa mulai umur 25, sudah 22 tahun. Nggak ada aturan jadi lemafa mulai umur berapa, atau selesai umur berapa. Selama kita merasa bisa, tetap jadi lemafa," tutur pria kelahiran 18 Mei 1969 ini.
Bagi warga Lamalera, berburu paus adalah tradisi turun-temurun. Tiap 2 Mei-30 September tiap tahun, paus bermigrasi dari Australia ke arah utara. Inilah saat-saat paus biru melintasi perairan Pulau Lembata.
Sebelum memulai ritual berburu, tepat tanggal 29 April, kepala desa melakukan seremonial adat Tobo Nama Fata. Tujuannya untuk penyelesaian masalah suku dan tuan tanah. Tanggal 1 Mei, berlangsung Misa Leva dengan tradisi Katolik untuk memohon restu kepada Tuhan.
"Banyak pantangan yang harus diikuti waktu berburu, bahkan seminggu sebelumnya. Tidak boleh bicara kasar, harus berdoa sebelum melaut. Bahkan di peledang, sesama penumpang nggak boleh panggil nama. Harus 'bapa', anak kecil sekalipun," jelas Gorgorius.
Dalam 1 peledang, setidaknya ada 9-15 laki-laki yang ikut bersama lemafa. Sesaat setelah peledang melaut, sang lemafa sudah siap posisi. Berdiri di ujung kapal, memegang sebuah 'tempuling'. Ini adalah tombak bambu panjang, dengan ujung kait besi. Setelah diuji keseimbangan, para lemafa diuji kekuatan. Tempuling itu panjangnya mencapai 4 meter dengan berat sampai 10 kg.
"Ujung kait besinya sudah diikat ke tali sebelum dikait ke ujung tombak. Kami menombak pausnya kemudian membiarkan kait itu di badan paus. Kapal lalu mengikuti ke manapun arah paus, sampai dia lemah, baru ditarik ke pantai," kata Gorgorius, pandangannya menerawang.
Lalu bagaimana mereka bisa tahu cepat atau tidaknya si paus melemah? Para lemafa sudah punya teori tak tertulis soal titik lemah si paus biru. Lemafa tidak menombak dari ujung kapal. Mereka melompat ke lautan, membidik bagian bawah sirip sebelah kiri, tepat di jantung.
Tapi kejadian peledang yang dibawa jauh oleh paus juga pernah terjadi. Gorgorius bercerita, pada 1995, ada peledang yang dibawa paus sampai pesisir Australia. Saya kaget bukan kepalang dengan cerita Gorgorius.
"Tapi itulah risiko kami. Hidup mati di peledang, akan kami terima. Kecelakaan, risiko kami juga. Makanya hati lemafa harus bersih betul. Di sini orang percaya, apa yang terjadi di peledang tergantung perbuatan," katanya.
Sepanjang Gorgorius bercerita, saya terpana. Baginya dan seluruh masyarakat Lamalera, paus adalah sumber rejeki dan kehidupan. Sebelum beranjak pulang, saya pun mengutarakan pertanyaan yang sedari tadi mengganjal. Berburu paus bukannya hal yang kejam?
Tersenyum, Gorgorius menjawab. "Kami tidak menombak puluhan, ratusan paus biru yang lewat setiap hari di sini. Selama musim berburu itu mungkin 2-3 ekor paus. Kami sudah berdoa untuk mereka (para paus) juga. Mereka pasti membawa manfaat untuk manusia. Dan memang benar."
Sekali lagi, masyarakat tradisional Indonesia membuktikan, mereka jauh lebih bijaksana dari pada yang disangka orang kebanyakan.
(shf/shf)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!