Warna kuning-hijau mendominasi Keraton Ismahayana di Kota Landak, Kalimantan Barat. Kompleks bangunan dari kayu itu tampak sepi, tak ada pengunjung apalagi penghuni. Padahal tak sulit menemukan keraton ini, letaknya di salah satu sisi jalan utama Kota Landak.
Saya mengunjungi keraton ini pada Rabu (10/4/2013), bersama tim ekspedisi Women Across Borneo sebelum melanjutkan perjalanan ke perbatasan Indonesia-Malaysia. Warga lokal yang memandu kami bernama Didik. Dialah yang memanggil juru kunci Keraton Ismahayana agar membukakan pintunya untuk kami.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak lama kemudian sang juru kunci pun datang. Namanya Gusti Mahidin (38), seorang bapak yang sangat ramah dan murah senyum. Dia membukakan pintu Keraton Ismahayana lalu menggiring kami masuk.
Ruang tamu terbagi jadi dua bagian: kiri dan kanan. Foto-foto dan penjelasan sejarah singkat seputar Kerajaan Ismahayana terpampang di dinding. Sampai titik ini, kesan pertama saya terhadap Keraton Ismahayana adalah sederhana. Bangunan dari kayu belian (kayu besi khas Kalimantan) menyatu apik dengan ruang tamu yang sederhana.
Tapi begitu masuk ke dalam ruang tengah, kesan itu langsung berubah. Kemewahan terpancar dari singgasana raja yang berkilauan karena unsur emas, berlian, dan batu-batu mulia. Benda-benda tersebut ada di kursi, gorden, guci, sampai pajangan dinding. Tampak berkilauan diterpa cahaya matahari dari jendela.
Siapa yang pernah menduduki singgasana mewah itu? Adalah Raden Ismahayana, raja pertama yang adalah cucu salah satu Raja Majapahit. Raja terakhir bernama Pangeran Ratu Gusti Abdul Hamid. Dia wafat pada 1943, dibantai oleh tentara Jepang dalam peristiwa Mandor.
Di kamar tidur raja, saya menangkap kesan serupa. Meski bangunan kayu hijau-kuningnya tampak sederhana, tirai yang mengelilingi tempat tidur juga bertahtakan banyak batu mulia. Pakaian sang Raja dipajang di sana, dibordir dengan benang emas.
Penasaran, saya bertanya kepada Pak Gusti Mahidin. Dengan senyum mengembang, dia menjawab pasti.
"Ini kan Kota Intan. Masyarakat Landak sudah biasa mencari berlian dan emas di hulu sungai sana, dari dulu sampai sekarang," tuturnya.
Usai berkeliling dan kembali ke teras luar, saya bertanya kepada Didik. Jawabannya serupa dengan Pak Gusti Mahidin.
"Warga di sini banyak mendulang berlian. Emas juga banyak, tapi kan yang paling berharga itu berlian. Satu berlian ukuran biji kacang hijau itu bisa sampai Rp 20 juta kalau dijual," paparnya.
Saya lantas menyimpulkan, pantas saja Keraton Ismahayana berlimpah batu mulia. Mereka mendulangnya dari hulu Sungai Landak. Tak banyak yang tahu keraton ini penuh harta karun. Saya lantas bertanya kepada Pak Gusti Mahidin, apa dia tidak takut ada barang yang dicuri dari keraton ini?
"Tidaklah, warga sekitar sini juga masih berhubungan darah dengan (Kerajaan) Ismahayana. Nggak ada yang berani, semua juga menghargai sejarah," katanya bangga.
(sst/sst)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum