Bulan Juni, saya merencanakan berlibur ke Eropa. Sebenarnya bukan rencana karena kebetulan saja. Kebetulan memperoleh tiket promo pesawat Malaysia Airlines. Nah, karena promo dan uang tidak bisa dikembalikan, maka memperoleh izin masuk (visa) menjadi mutlak. Tanpa secarik stiker berlogo hologram khusus tersebut, saya dan juga siapa saja bakal ditolak mentah-mentah di sana.
Sebelum mengajukan permohonan visa, berbagai pengalaman membuat visa di berbagai blog dipelajari. Banyak yang menulis jika kedutaan yang cukup responsif terhadap visa orang Indonesia adalah Kedutaan Belanda. Di Kedubes Belanda, bisa selesai sehari. Sementara di kedutaan lain, bisa sampai sepekan atau setidaknya 3 hari kerja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akhirnya Kedubes Belanda menjadi pilihan utama dengan mendaftar online. Permohonan yang diajukan yakni visa Schengen untuk keperluan 'tourist'. Setelah mengisi form, akan ada balasan ke email mengenai jadwal wawancara.
"Thank you Ari Saputra, We are waiting for you on: 2013-04-25 08:30," tulis Kedubes Belanda dalam email menjawab permohonan visa.
Dalam balasan tersebut juga dilampirkan persyaratan dokumen yang diperlukan seperti paspor, KTP, pas foto, pembayaran tiket pesawat dan hotel, asuransi perjalanan, surat pernyataan perusahaan, slip gaji 3 bulan terakhir (buat karyawan), dan fotokopi buku tabungan. Oh ya, karena saya pergi bersama anak saya, Naomi yang masih berusia 3,5 tahun, akta kelahirannya juga dibawa untuk ditunjukan.
Pada Kamis kemarin seperti dalam tanggal di email, kami sampai di Kedubes Belanda pukul 08.00 WIB tepat. 3 Satpam menyambut kami dengan ramah dan hangat, lalu mempersilahkan kami masuk. Tas tas diperiksa dengan diminta membuka tas untuk memastikan tidak ada barang membahayakan. Mereka semua melakukan dengan senyum dan ramah lho...
Ternyata sudah ada belasan orang sudah mengantri untuk membuat visa. Mereka langsung menuju meja petugas yang telah memegang daftar nama yang mau membuat visa pada hari itu.
"Dengan siapa? Oke, silakan tunggu," kata petugas itu dengan ramah sambil memeriksa dokumen awal dan mencoret nama saya dengan stabillo.
Ups, ternyata pas foto Naomi tidak memenuhi standar. Gara-garanya cukup sepele, senyum Naomi terlalu membuka sehingga giginya terlihat sedikit.
Tapi jangan khawatir, di ruang tunggu tersebut sudah ada petugas untuk membuat pas foto yang dibutuhkan. Cukup bayar Rp 50.000, pas foto pun jadi.
Di ruang tunggu itu terlihat nyaman. Terletak di sebuah taman dengan kanopi yang didesain khusus. Ada kursi tunggu terbuat dari kayu dan sebagian lagi terbuat dari batu alam, menyatu dengan taman yang asri. Sebuah papan petunjuk ditempelkan yang menunjukan larangan menggunakan gadget maupun telepon.
Sekitar 30 menit kami menunggu, akhirnya kami dipersilakan menuju sebuah ruangan di gedung utama kedutaan. Ruangan tersebut menyerupai loket kantor pos. Terdapat sekat kaca membentuk 7 bilik. 6 Bilik untuk posisi berdiri, sementara sebuah bilik yang berada di tengah terbuat dari kaca dan tertutup untuk posisi duduk.
Di dinding ruangan dengan meja tunggu sekitar 20 kursi tersebut, terpajang foto-foto destinasi di Belanda. Semua dicetak dalam ukuran besar bertuliskan 'Holland'. Yang mencolok tentu yang menjadi ikon Belanda: foto bunga tulip, kincir angin raksasa, cheese market dan pesawat maskapai Belanda, KLM.
Di salah satu pojok ruangan sebuah televisi LED menampilkan keindahan Belanda.
Setelah menunggu sekitar 20 menit (agak lama karena banyak antrean dari biro tur), akhirnya dipanggil juga. Kemudian seorang perempuan berkulit sawo matang di loket 7 menyapa dengan ramah. Ia tersenyum sambil terlihat sibuk mellihat ke arah monitor komputer.
"Kenapa ke Belanda," tanya perempuan itu menggunakan bahasa Indonesia.
"Mendapat tiket promo dari Malaysia Airlines," jawab saya menunjuk reservasi tiket Malaysia Airlines.
Β "Mau menginap dimana?," lanjutnya dengan suasana informal. Ia pun lebih sibuk dengan sesuatu di monitornya.
"Di Paris 2 malam, 4 malam di Amsterdam," jawab saya sembari menunjuk reservasi hotel yang diperoleh via online.
"Oh, pesawatnya tiba di Paris?"
"Iya".
"Asuransi perjalanan sudah membuat?"
"Sudah, menggunakan AXA Insurance".
"Sudah ada yang pernah ke Eropa?"
"Saya belum, istri saya sudah 2 kali ke sana,"
"Untuk putri bapak ada akta lahir? Bisa ditunjukan? Kalau masih kecil, boleh nggak ikut ke sini kok," kata petugas itu sambil terus mengecek berkas.
"Silakan duduk sebentar," ucapnya ramah.
Sekitar 5 menit kemudian, ia kembali memanggil. "Nanti datang lagi jam 15.00 WIB, tidak bisa diwakilkan, bisa salah satu saja ke sini," ucapnya dengan nada meyakinkan.
"Oh iya." sergah saya cepat-cepat takut ia berubah pikiran.
Setelah membayar biaya pembuatan Rp 1,5 juta untuk dua orang (anak-anak di bawah 6 tahun, gratis), kami meninggalkan ruangan itu. 2 Satpam menyapa kami saat ke luar pagar Kedutaan. Saya melirik ke jam tangan, jarum jam masih menunjuk pukul 09.30 WIB.
"Kalaupun diterima, membuat visa kurang dari 6 jam. Kalaupun tidak diterima, mengajukan lagi," pikir saya.
6 Jam kemudian, kami ambil paspor dan hore! Visa Schengen!. Buktinya secarik stiker bertuliskan visa ditempel di halaman paspor masing-masing. Tertulis disitu tanggal berlaku dan masa berakhir (30 hari).
Alhasil, kami tinggal menanti bulan Juni, saat yang tepat mengawali musim panas di Eropa.
(shf/shf)
Komentar Terbanyak
Study Tour Dilarang, Bus Pariwisata Tak Ada yang Sewa, Karyawan Merana
Kronologi Penumpang Lion Air Marah-marah dan Berteriak Ada Bom
Penumpang Pria yang Bawa Koper saat Evakuasi Pesawat Dirujak Netizen