Persinggahan pertama dalam petualangan detikTravel kali ini adalah RM Nasi Jamblang Bu Nur, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Stasiun Kereta Kejaksan, Cirebon. Persisnya ada di Jl Cangkring 2 yang diakses dari Jl Raya Tentara Pelajar, 10 menit dari Stasiun Kereta Kejaksan.
Nasi Jamblang Ibu Nur menambah ramai jagat nasi jamblang di Cirebon setelah Nasi Jamblang Mang Doel yang tersohor duluan, kemudian diikuti Nasi Jamblang Pelabuhan dan Nasi Jamblang malam di depan Grage Mal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berawal dari warung sederhana di sudut Jl Tentara Pelajar, Nasi Jamblang Ibu Nur kini memiliki rumah makan yang lebih besar dan resik di Jl Cangkring 2. Di tempat ini, Nasi Jamblang yang semula adalah makanan sederhana untuk kelas pekerja, sudah naik kasta menjadi jajanan yang lebih berkelas.
Masih ada nuansa daun jati sebagai ciri khasnya memang, tapi tetap saja berbeda dari Nasi Jamblang pinggir jalan yang bisa disantap sesukanya sembari nangkring di becak.
Salah satu perbedaannya adalah jika di warung Nasi Jamblang asli di pinggir jalan pembeli duduk mengelilingi si pedagang dan bebas mengambil sendiri lauk yang diinginkan, di warung makan ini nasi dan lauk yang sudah dipilih dibawa ke deretan meja kursi dari kayu yang tertata rapi sebagaimana layaknya rumah makan. Nasinya pun tidak dibungkus daun jati, melainkan hanya dialasi daun jati.
"Susah Mas kalau harus bungkusin satu-satu. Yang beli banyak," kata seorang karyawan RM Nasi Jamblang Bu Nur kepada detikTravel, Senin (6/5/2013).
Daun jati sebagai bungkus Nasi Jamblang juga punya sejarahnya. Pada zaman kolonial Belanda, para pekerja di pesisir Pantura memilih daun jati untuk membungkus nasi karena paling mudah didapat dan lebih murah dibanding daun pisang. Kesederhanaan Nasi Jamblang mewakili kesederhanaan kehidupan di kawasan Pantura Cirebon, yang masih didera aneka masalah perkawinan dini sampai persoalan TKW.
Andai tidak dibungkus daun jati, maka hampir tidak ada bedanya Nasi Jamblang dengan nasi bungkus pada umumnya. Jika dibungkus kertas koran berlapis daun pisang misalnya, maka tidak ada perbedaan yang signifikan dengan Nasi Kucing di Jawa Tengah yang juga memiliki konsep serupa.
Identitas Pantura lainnya juga terangkum dalam aneka lauk pauk dalam hidangan Nasi Jamblang yang menyertainya. Wisatawan bisa memilih belasan jenis lauk-pauk mulai dari sambal, tahu goreng atau semur, tempe, ayam bakar atau goreng, aneka pepes dari jamur sampai rajungan, babat-iso, semur ati atau daging, sate kentang, telur dan lainnya. Bingung mau coba yang mana?
Yang paling dominan adalah hasil laut seperti udang, ikan pari dan cumi-cumi blakutak yang dimasak dengan tintanya. Sebagai bagian dari pesisir Pantura, Cirebon juga memiliki julukan sebagai Kota Udang karena rebon adalah sejenis udang kecil. Seporsi Nasi Jamblang cukup murah dengan kisaran harga Rp 3.000-15.000 bergantung menu yang dipilih.
Kalau sudah ke Cirebon, jangan cuma makan Nasi Jamblang ya. Masih ada Pasar Kanoman di depan Keraton Kanoman yang merupakan tempat belanja oleh-oleh makanan khas Cirebon seperti kerupuk udang, kerupuk melarat, dll. Jangan lewatkan juga Masjid Agung Sang Ciptarasa dan Keraton Kasepuhan, yang juga memiliki banyak tradisi religi semacam Muludan sepert di Yogyakarta dan Surakarta.
(ptr/fay)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!