Cuaca agak berkabut sore itu di daerah Ciapus, tepatnya di Kampung Loa, Desa Tamansari, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Di akhir Mei itu, saya melipir karena penasaran melihat plang bertuliskan Parahyangan Agung Jagatkartta.
Setelah melewati patung Ganesha dan sedikit bertanya, saya diarahkan untuk menemui pemangku pura yang rupanya baru selesai sembahyang. Namanya Jero Mangku Gede Darsa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hmmm, setelah saya perhatikan, bentuknya memang tidak sama dengan pura di Bali. Lebih mirip dengan candi-candi Hindu yang ada di Jawa. Menurut Darsa, Parahyangan Agung Jagatkartta ingin mempertahankan identitas Hindu Sunda yang terlupakan orang.
"Orang hanya tahu Hindu itu Bali. Padahal ada juga Hindu Sunda," jelas dia.
Wah, saya salut dengan upaya menyelamatkan identitas budaya Sunda dari umat Hindu ini. Menurut Darsa, Parahyangan ini dibangun tahun 1995 oleh Yayasan Giri Taman Sari. Ada kisah gaib yang melatarbelakanginya.
"Dulu ada umat Hindu yang sering meditasi di sini. Kemudian dia berjumpa dengan Prabu Siliwangi, beliau berkata 'Dari sekian banyak tempat suci, tidak ada satupun untukku'. Nah, dari situ dibangunlah Parahyangan Agung Jagatkartta," kata Darsa, sambil mengajak saya melihat isi Parahyangan Agung.
Area di dalamnya begitu resik, rapi dan tenang. Ada beberapa bale yang tersebar, sebuah lapangan yang tidak terlalu besar menghadap ke tiga bangunan besar yang teramat penting. Di bagian kiri terdapat Candi yang dapat ditarik garis lurus ke arah gapura masuk.
Candi yang menjulang sekitar 5 meter ini didedikasikan untuk menghormati Prabu Siliwangi. Ada dua ekor patung macan putih dan macan hitam, macan paling legendaris dari kisah Prabu Siliwangi. Dalam sepengetahuan saya, ini adalah macan putih yang sama pada lukisan Prabu Siliwangi milik Keraton Kasepuhan Cirebon. Sedangkan macan hitam ini adalah inpirasi untuk lambang Polda Jabar.
Di sebelah kanan lain ada candi yang disebut Padma. Sementara bangunan di tengah seperti rumah adalah Pesamuan Agung. Di tengah taman ini ada pendopo kecil tempat Darsa memimpin doa.
Menurut Darsa, tempat ini ramai pada setiap hari besar umat Hindu seperti Galungan, Kuningan dan Melasti menjelang Nyepi. Sedangkan acara besar di Parahyangan Agung Jagatkartta adalah Purnama Ketiga yang jatuh setiap akhir Agustus.
"Yang datang ke sini dari seluruh Indonesia, orang Bali pasti mampir, terus juga dari Lombok. Kalau dari luar negeri ada dari India, Jerman dan Amerika. Kemarin ada orang Amerika meditasi sendirian sampai menangis di sini," kata Darsa.
Percaya tidak percaya, menurut Darsa pernah ada wisatawan dari AS keturunan Indian Apache yang pernah datang dan mengaku keturunan Sunda. Sebelum ke Parahyangan, orang Indian ini pergi ke Suku Baduy di Banten untuk mencari silsilah keluarganya.
Masih soal yang gaib-gaib, mereka yang punya indera keenam menurut Darsa bisa merasakan kehadiran macan-macan Prabu Siliwangi. Saya sih hanya merinding saat Darsa berkisah mengenai itu. Menurut Darsa, Prabu Siliwangi juga berwasiat untuk dibikinkan pura di Kuningan dan Garut.
Terlepas dari hal itu, Darsa mengatakan Parahyangan Agung Jagatkartta terbuka untuk kunjungan wisata religi, selain umat Hindu yang beribadah. Silakan datang dan menikmati kecantikan pura dengan taman yang hijau dan rapi, ditambah lagi Gunung Salak yang menjadi latar belakangnya. Parahyangan Agung Jagatkartta adalah tempat yang wajib didatangi traveler yang berkunjung ke kaki Gunung Salak.
(fay/sst)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!