Pulau Tebinggi Tinggi, di Riau adalah satu antara pulau kecil lainnya yang ada di Indonesia. Lebih dari 150 tahun silam, etnis Tionghoa sudah berada di sana. Bangunan Klenteng di sana pun diyakini tertua di Sumatera.
Pulau Tebing Tinggi ini letaknya di Selat Malaka. Di Pulau ini kini dijadikan pusat ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti yakni, Selat Panjang. Kabupaten ini baru terbentuk dan belum genap usianya 5 tahun. Dulunya Selat Panjang hanyalah ibukota kecamatan yang berkiblat pada Kabupaten Bengkalis, di Riau.
Kota Selat Panjang tidaklah terlalu besar. Namun kota ini punya sejarah panjang jauh sebelum kemerdekaan. Di perkirakan, pertengahan abad ke 19 atau sekitar tahun 1800-an, etnis Tionghoa dari daratan Cina sudah merantau ke sana.
Dulunya pulau itu hanya ada hutan belantara. Warga Tionghoa menetap di sana dengan membuka usaha kayu, membabat hutan untuk menanam karet, menanam sagu serta sayu-sayuran. Keberhasilan para perantau awal ini, lantas disusul kemudian perantau lainnya. Mereka sama-sama berada di pulau tersebut yang akhirnya kini banyak keturunannya menyebar ke seluruh wilayah Nusantara.
Perdagangan tempo dulu, hasil pertaniannya dijual ke Singapura. Ini karena letak goegrafis kepulauan ini sejajar dengan letak Singapura. Keberhasil para etnis Tionghoa dalam berbisnis ini pada akhirnya melahirkan Selat Panjang sebagai kota perdagangan dari dulu hingga sekarang.
Seiring pertumbuhan masyarakat Tionghoa kala itu, maka nenek moyang mereka pun membangun tempat peribadatan yang dikenal dengan sebutan keleteng bernama Hoo Ann Kiong (Vihara Sejahtra Sakti). Sebenarnya, tidak ada yang tahu kapan persisnya bangunan tempat ibadah itu berdiri.
Namun, masyarakat Tionghoa meyakini bangunan itu sudah ada sekitar tahun 1850-an. Kelenteng itu sempat beberapa kali pindah lokasi. Tapi, sejumlah bangunan tua seperti tiang-tiang penyanggah pintu masuk tetap dibawa kemanapun lokasi berpindah.
Kini Klenteng itu berlokasidi Jl Ayani, Selat Panjang, Ibukota Kabupaten Kepulauan Meranti. Kelenteng itu menghadap ke laut yang hanya berjarak sekitar 50 meter saja.
Klenteng warna merah dengan ornamik khas Cina itu, dihimpit bangunan ruko. Bagian tempat peribadatan itu memang bukan lagi bentuk aslinya. Bila dilihat sekarang, bangunan tempat pemujaan bagian dalam sudah sangat modern. Ornamik khas ukiran Cina serta patung budha didatangkan langsung dari negeri Tirai Bambu itu.
Tak ada bedanya, kalau lokasi peribadatan itu dengan Klenteng lainnya yang ada di Indonesia. Peninggalan sejarah yang masih utuh sejak kelenteng itu adalah pintu gerbang masuknya.
Lantas apa uniknya? Pintu gerbang bercat merah, termasuk tiang-tiangnya sekilas terlihat terbuat dari besi. Tapi rupanya, tiang penyanggah genteng tersebut terbuat dari kayu yang usianya sudah 150 tahun.
Kayu itu penyanggah ukuran sedang sekitar berdiameter 15-20 cm itu masih tegak lurus. Artinya, pintu gerbang untuk memasuki ke dalam kawasan kelenteng masih merupakan peninggalan zaman dulu!
Tidak hanya tiang penyanggahnya saja yang dari kayu. Ada empat daun pintu sebagai penutup juga masih terbuat dari papan. Tiang penyanggah atapnya ternyata tidak menggunakan satu paku pun. Antara kayu ke kayu yang lain hanya dipasang pasak saling mengikat. Di bagian ujung tiang ke tiang lainnya selain menggunakan sekat juga dibalut dengan rotan.
"Dulu bagian atap ada yang rusak termakan usia. Untuk mengganti kayu atapnya kita pusing setengah mati. Karena tempat penyanggah atap ke tiang utama tidak menggunakan paku. Akhirnya kami sangat hati-hati sekali saat membongkarnya. Kami pun hanya bermodalkan lem," kata Deni, alias Along Pengurus Kelenteng Hoo Ann Kiong, Hoo Ann Kiong kepada detikTravel.
Along menceritakan, selain pintu gerbang terbuat kayu, tembok sisi kiri kanannya terbuat dari batu. Namun, perekat batunya tidak menggunakan semen.
"Perekat batu sama seperti candi tanpa menggunakan semen. Dinding tembok itu kini kami semen, karena takut termakan usia. Sayangnya kami lupa mengabadikan dinding aslinya yang tanpa semen itu," kata Along.
Selain tembok tanpa semen dibagian pintu utama, dindingnya juga ditempel batu prasasti dengan ukiran khas Cina. Penempelan dinding itu diibaratkan sekarang seperti keramik. Batunya berwarna putih bintik kehitaman.
"Kabarnya ukiran ini dipahat langsung dulunya. Setelah itu ditempelkan ke dinding. Kami pernah coba membersihkan ukiran kuno itu dengan gerinda. Tapi gerindanya malah yang termakan," kata Along.
Masyarakat Tionghoa meyakini klenteng ini merupakan tempat ibadah tertua yang ada di Sumatera. Masyarakat di sana hanya mengetahui kalander Cina bahwa Klenteng itu dibangun saat bulan Kelinci.
"Kapankan tahunnya? Nah ini yang kami tidak tahu. Hanya saja diperkirakan tempat ini sudah ada sekitar tahun 1850-an. Makanya kami yakin ini Klenteng tertua yang ada di Sumatera," kata Along.
Masih menurut Along, ornamik bagian atap pintu gerbang, bergampar naga itu merupakan peninggalan sejak dulu. Kondisi itu tidak pernah mereka ganti. Yang dipugar selama ini hanya tempat pusat sembayang bagian dalamnya.
"Pemugaran itu ada dua kali dilakukan. Pertama era pemerintahan Belanda tahun 1940. Dan selanjutnya tahun 1950," kata Along.
Di sana juga terdapat prasati batu setinggi sekitar 1 x 75 cm. Batu berwarna keputihan itu bertuliskan huruf China dengan warna kuning keemasan. Menurut Along, tulisan itu ada sebagian kecil mengisahkan pembangunan serta nama-nama donatur di kala dulu.
Prasasti ini terpasang dibagian tembok bagian dalam disayap kiri. Along sendiri tak mengerti untuk membaca tulisan tersebut. Sebab, mereka sama sekali tidak pernah belajar soal tulisan tersebut.
"Saya tak tahu untuk membaca tulisan itu. Tulisan itu sudah ada sejak tahun 1903," kata Along.
Setiap pagi hingga sore, masyarakat Tionghoa di sana silih berganti untuk melaksanakan ibadah. Begitu juga bila para perantau ada yang pulang kampung, mereka terlebih dahulu mampir ke sana, baru pulang ke rumahnya.
"Begitu perantau turun dari kapal sambil membawa tas, mereka lebih dulu singgah di sini untuk beribadah. Setelah itu barulah mereka pulang ke rumah," kata Along.
Kisah pendirian Kleteng ini, berawal keterbatasan soal tenaga medis kala itu. Sehingga, masyarakat Tionghoa meyakini salah satu pengobatan alternatif selain cara ilmiah adalah bertanya kepada tepekong. Dari sanalah, para nenek moyang mereka membangun Klenteng di Selat Panjang.
"Sebagai bentuk alternatif pengobatan secara kerohanian. Makanya dibangun klenteng ini," kata Along.
Penasaran ingin melihat kelentengnya dari dekat?
(aff/aff)
Komentar Terbanyak
Prabowo Mau Borong 50 Boeing 777, Berapa Harga per Unit?
Skandal 'Miss Golf' Gemparkan Thailand, Biksu-biksu Diperas Pakai Video Seks
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari AS, Garuda Ngaku Butuh 120 Unit