Menapaki kisah perjuangan para pemuda di Museum Kebangkitan Nasional tidak sekadar melihat cerita yang ditorehkan, namun juga proses mereka belajar di sekolah. Dibangun pada tahun 1899 dan selesai tahun 1901 oleh pemerintah Belanda, School Tot Opleding Van Inlandsche Artsen atau STOVIA berfungsi sebagai sekolah kedokteran.
Di bawah Dr HF Roll, STOVIA menjadi pusat pembelajaran ilmu kedokteran bagi para pemuda Jawa dan segelintir lainnya yang mampu mengenyam pendidikan. Hal tersebut terlihat dari sejumlah koleksi alat medis jadul yang dipamerkan di ruang Museum Kesehatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di ruang pertama dari empat ruang Museum Kesehatan, traveler dapat melihat berbagai alat medis tradisional khas Indonesia. Sebelum dokter datang ke Indonesia, proses berobat masih menggunakan jasa dukun yang tradisional. Alat seperti keris, kotak obat, hingga batu untuk menghaluskan daun, adalah alat yang dulu digunakan.
Kemudian di ruang kedua traveler bisa melihat alat medis di masa dokter mulai masuk ke Indonesia. Walau masih berukuran besar dan cenderung kaku, namun sebagan alat yang ada sudah modern kala itu. Adapun juga dapat dijumpai alat pemecah kepala manusia!
"Dulu orang yang sudah meninggal kepalanya dipenggal, kepalanya saja ditaruh di tengah ini, lalu alatnya diputar, kepalanya pecah otaknya keluar, hanya diambil untuk penelitian," terang Sadhu.
Terdengar ngeri memang, tapi tentu semuanya dilakukan sesuai prosedur medis yang bertanggung jawab. Lalu di ruang ketiga, dipajang beberapa alat medis yang sudah lebih modern, serta buku kuliah dan tas milik Raden Anggoro Kasih atau disingkat Raden Angka yang merupakan salah satu dokter pribumi pertama.
Di dua ruang berikutnya juga dapat dijumpai berbagai alat medis kedokteran yang sudah lebih berkembang, seperti mikroskop hingga alat bedah dan kebidanan. Adapun terdapat juga ruang praktek bedah yang dulu menjadi tempat didirikannya organisasi Budi Utomo.
Namun uniknya, di ruang kelas tersebut terlihat satu alat peraga kerangka manusia yang ditaruh rapi di dalam etalase. Menurut cerita sang pemandu, tengkorak itu adalah asli dari manusia dan telah digunakan selama ratusan tahun untuk proses belajar mahasiswa STOVIA.
"ini juga ada tengkorak asli, usianya sudah 100 tahun lebih, diawetkan saja jadinya seperti ini," cerita Sadhu.
Bahkan dalam beberapa foto lama yang di ruangan, terlihat foto kelas dengan figur tengkorak tersebut. Kerangka manusia tersebut ternyata memang telah menjadi bagian penting dalam kegiatan perkuliahan soal anatomi manusia saat itu.
Kemudian tepat di samping Ruang Memorial Budi Utomo, tampak settingan ruang asrama mahasiswa STOVIA. Tidak berbeda dengan ruang asrama waktu itu, kasur putih dengan lemari dan koper terlihat berjajar memanjang. Aturannya mahasiswa STOVIA diharuskan untuk menginap di asrama. Begitu ketat dan disiplin!
Melihat berbagai alat kedokteran dan kedisiplinan yang diajarkan saat itu, rasanya tidak mengherankan apabila STOVIA atau kini Museum kebangkitan Nasional, berhasil menghasilkan pemuda yang berguna bagi bangsa dan negara.
Suasana saat itu memang berbeda dengan sekarang, tapi bukan berarti traveler tidak bisa mengikuti semangat para pemuda dan berbuat lebih untuk Indonesia tercinta. Mungkin bisa dimulai dengan mampir ke Museum Kebangkitan Nasional di Jl Abdulrahman Saleh No. 26, Jakarta Pusat.
(sst/sst)
Komentar Terbanyak
Study Tour Dilarang, Bus Pariwisata Tak Ada yang Sewa, Karyawan Merana
Penumpang Pria yang Bawa Koper saat Evakuasi Pesawat Dirujak Netizen
Suhu Bromo Kian Menggigit di Puncak Kemarau