Senin (24/8) adalah hari ke-10 pendakian ke Carstensz. Tim Ekspedisi Jurnalis ke Carstensz 2015 sampai ke daerah Tambua. Tambua dulunya adalah desa Suku Moni, namun lalu ditinggalkan.
Kami tidak bermalam, namun hanya melewatinya saja. Tim melintasi medan yang tak mudah setelah dari Tambua, karena berjalan di atas wilayah perbukitan yang di bawahnya berisi koloni raksasa semut hitam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Benar saja, begitu duduk di atas batu di atas perbukitannya, semut-semut hitam langsung menggerayangi kaki. Beberapa pendaki dibuat penasaran, sebenarnya ada berapa banyak sih sarang-sarang semut di sana. Malah, ada yang dari mereka mencoba mengorek tanah. Betapa kagetnya, kala melihat semut yang jumlahnya sangat banyak keluar dari tanah tersebut. Hiii.. miliaran ekor!
Kalau sudah begini, kami tidak bisa beristirahat lama-lama. Semua tenaga dikerahkan, untuk bisa melewati bukit yang disebut para porter kami sebagai bukit semut ini.
Kami yang memaksakan diri untuk terus berjalan, jujur saja banyak yang kewalahan. Namun setelah itu, panorama di depan kami seolah menjadi obat yang menghilangkan rasa lelah ini. Selamat datang di Hutan Jurrasic!
"Kalian nanti akan ketemu Hutan Jurrasic. Hutan itu, batu-batu dan tumbuhan di sana, seperti pohon paku usianya sudah jutaan tahun namun masih ada sampai sekarang. Pemandangannya beda deh," begitu ucapan Rini Indyastuti, perwakilan dari Yayasan Somatua kepada tim jurnalis, ketika sedang berada di Timika, beberapa hari sebelum kami menuju ke Sugapa.
Rini yang juga pernah mengajar sebagai dosen biologi di Universitas Duta Wacana, Jawa Tengah ini menambahkan hutan jurrasic tersebut juga disebut hutan purba. Kealamiannya masih terjaga, sebab tidak tersentuh manusia sejak zaman dulu.
"Hutan itu tidak pernah ditempati manusia, jadi masih alami. Sampai sekarang, tidak ada yang tinggal di sana," katanya.
Pepohonan paku yang punya nama ilmiah Cyathea muelleri tersebut jumlahnya sangat banyak. Pohonnya pun tinggi-tinggi, yang benar-benar membuat kami semua berada di dunia lain. Sekedar informasi, zaman Jurrasic merupakan periode sekitar 4 juta tahun lalu. Benar-benar tidak ada orang lain selain rombongan kami di sana.
Tim jurnalis dan para pendaki pun menghabiskan waktu satu malam di sana. Pagi hari setelahnya, kami makin dibuat kagum dengan panorama pepohonan yang luas dan tertutup kabut. Belum lagi, lanskap pegunungan yang hijau menyelimuti sekitarnya.
Sayang, kami tidak boleh berlama-lama. Waktu sudah menunjukan pukul 07.30 WIT, itu artinya kami harus kembali berjalan. Petualangan setelah ini adalah, berjalan kaki di ketinggian 4.000 mdpl.
(rdy/Aditya Fajar Indrawan)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Tragedi Juliana di Rinjani, Pakar Brasil Soroti Lambatnya Proses Penyelamatan