Kisah Desa Cantik Tanpa Listrik di Jantung Pedalaman Papua

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Ekspedisi Jurnalis ke Carstensz 2015

Kisah Desa Cantik Tanpa Listrik di Jantung Pedalaman Papua

Afif Farhan - detikTravel
Senin, 14 Sep 2015 16:30 WIB
Perjalanan menembus kabut di pagi hari (Afif/detikTravel)
Ugimba - Perkenalkan, inilah Ugimba di ketinggian 2.100 mdpl di Papua. Desa yang punya lanskap alam nan cantik dan terdekat dari Puncak Carstensz. Pembangunan jalan, sekolah hingga listrik di sana belum tersentuh pemerintah.

Nama Ugimba belum sepamor Jayapura, Merauke, Biak atau Nabire. Tapi kalau membanding-bandingkan potensi wisatanya, saya jamin Ugimba yang masuk dalam Kabupaten Intan Jaya ini tidaklah kalah dari tempat manapun di Papua.

Selama 5 hari, dari tanggal 16 sampai 20 Agustus 2015 kemarin, tim Ekspedisi Jurnalis ke Carstensz 2015 berkesempatan tinggal dan menjelajahi Ugimba. Mari, saya kenalkan tempat-tempat yang bagus di sana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pertama, adalah Sungai Kemabu yang disebut masyarakat setempat sebagai sungai es. Tak berlebihan, karena sumbernya memang berasal dari pegunungan yang memiliki salju abadi dari sekitar Puncak Carstensz. Sungguh berbeda dinginnya dengan sungai-sungai yang ada di Pulau Jawa.

Selain dingin, airnya pun sangat jernih dan bersih. Tidak ada sampah plastik dan lainnya. Di pinggiran sungai, bebatuan yang ada di bawah air pun tampak terlihat jelas. Di sana, terdapat pula air-air terjun yang ukurannya kecil. Salah satunya air terjun yang berbentuk seperti tirai.

Masih di Sungai Kemabu, traveler juga bisa mendatangi Air Keramat Tipagau. Air yang berasal dari bawah tanah dan menyembur ke atas. Rasanya, seperti air zam-zam dari Arab sana. Kandungan mineralnya diyakini tinggi, baca kisah selengkapnya di sini.

Sungai Kemabu, menjadi pintu gerbang untuk memasuki Desa Ugimba. Tunggu, jangan bayangkan desanya itu dipenuhi oleh banyak rumah. Rumah-rumah di sana, terpisah-pisah dengan jarak yang cukup jauh.

Kebanyakan, rumahnya masih berbentuk honai yang terbuat dari kayu, jerami tanpa paku dan menyerupai jamur raksasa. Kalau ada yang sudah memiliki atap dari genteng dan seperti rumah-rumah di Jakarta, itu pun merupakan rumah dari staf Pemkab Intan Jaya di sana.

Ratusan orang tinggal di Ugimba, yang 90 persen merupakan Suku Moni dan sisanya Suku Dani. Kehidupan mereka, sehari-hari yang wanita berkebun untuk menanam kol, kedelai dan bayam merah. Sedangkan yang pria, mereka masuk ke dalam hutan untuk berburu.

Sehari-hari, mereka bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan hasil kebun. Untuk membeli barang-barang keperluan seperti pakaian, mereka harus berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer untuk ke desa lain yang lebih 'modern'.

Kembali ke soal wisata, di desanya saja, lanskap alam yang terlihat benar-benar menggagumkan. Rangkaian pegunungan menjulang tinggi mengelilinginya. Jika pagi hari, Ugimba akan tertutup kabut yang tebal, seperti diselimuti awan.

Trekking, merupakan kegiatan yang bisa dilakukan traveler di Ugimba. Silakan memasuki hutan belantara yang lebat, menjanjikan petualangan yang seru. Tapi jangan kaget, kalau melihat banyak babi berkeliaran karena itulah peliharaan masyarakat setempat.

Tahun 2014 silam, Mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu sudah menetapkan Ugimba sebagai desa wisata. Artinya, desa ini memang direkomendasikan menjadi destinasi traveler karena potensi alam dan budayanya yang memukau.

Sayang, predikat tersebut masih di atas kertas saja alias belum terjadi di lapangan. Fasilitas pariwisata, atau pembangunan jalan di sana masih nol.

Maximus Tipagau, salah seorang tokoh pemuda di sana sudah membangun klinik yang juga berfungsi untuk tempat perawatan traveler. Namun sayang, hingga kliniknya menjadi bangunan tidak terawat dan Pemkab Intan Jaya belum memberikan dokter atau menyuplai obat ke sana (baca selengkapnya di sini).

Apalagi soal pembangunan jalan dan listrik, masih belum terdapat di sana. Sehari-hari masyarakat di sana hanya menggunakan api atau senter untuk alat penerang di malam hari. Kendaraan mobil atau motor, juga belum bisa masuk karena medannya masih berupa bukit yang naik turun.

Hendricus Mutter, seorang pemandu dari operator tur Adventure Carstensz dan selaku pemimpin tim pemandu Ekspedisi Jurnalis ke Carstensz 2015 memberikan pendapat. Menurutnya, Desa Ugimba ini seperti dilema. Apakah memang harus dilakukan pembangunan di sana atau malah dibiarkan begitu saja?

"Kalau ada pembangunan dan listrik masuk, yang saya takutkan orang-orang di sini hanya akan menjadi penonton. Artinya, kalau desa ini sudah maju berarti akan banyak ada pendatang yang mendirikan usaha dan lainnya. Kalau sudah begitu, apakah masyarakat Ugimba siap bersaing?" katanya.

Hendricus memberikan contoh desa-desa lain di Papua, Sugapa misalnya. Desa yang lokasinya 20-an km dari Ugimba ini, sudah maju dengan masuknya listrik, sinyal telefon selular dan pembangunan bandara. Tapi lihat masyarakat aslinya, mereka seolah terpinggirkan karena banyaknya pendatang yang masuk ke sana dan siap bersaing.

"Ataukah memang Ugimba ini dibiarkan begini saja. Mereka seolah terisolir dari dunia luar, seperti di Baduy sana. Tapi semua orang secara manusiawi ingin maju dan lebih modern. Ada banyak yang harus dibangun di Ugimba ini, tapi kita tanya masyarakatnya dulu. Mereka siap tidak dengan modernisasi atau malah sudah hidup nyaman seperti sekarang ini," paparnya.

(aff/Aditya Fajar Indrawan)

Travel Highlights
Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detikTravel
Ekspedisi Jurnalis Carstensz
Ekspedisi Jurnalis Carstensz
48 Konten
Artikel Selanjutnya
Hide Ads