Jauh di pedalaman Papua, terdapat pesona keindahan Papua yang belum banyak orang tahu di Desa Ugimba, Kabupaten Intan Jaya. Silakan bermain di Sungai Kemabu yang airnya sedingin es, memotret air terjun yang terlihat seperti di dongeng atau bercengkrama langsung dengan Suku Moni yang masih banyak menggenakan koteka.
Hari ke-5 pendakian, tim Ekspedisi Jurnalis ke Carstensz 2015 masih tinggal di Ugimba sebelum menuju ke Puncak Carstensz, tepatnya 19 Agustus 2015 kemarin. Kami menyempatkan diri berkeliling desa tersebut. Desa yang berada di ketinggian 2.100 mdpl dan berada di tengah hutan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Klinik dan sekolah ini, saya bangun dengan keringat dan uang sendiri dengan harga Rp 1,5 miliar tanpa bantuan pemerintah. Ini klinik pertama di Ugimba," ujar Maximus.
Tim jurnalis diajak melihat klinik terlebih dulu. Bangunannya terbuat dari kayu dan memiliki 17 ruangan. Ada ruang inap, apotek, ruang ibu dan anak sampai obat gudang. Kliniknya pun sudah dibangun dari tahun 2004 silam.
"Masyarakat di Ugimba ini, kalau sakit maka pasrah sudah. Mereka pasrah akan mati. Bapak saya pun seperti itu, sakit dan akhirnya meninggal. Padahal, bisa diobati tapi sayang kalau ke puskemas atau klinik harus berjalan 6 jam bolak-balik ke Sugapa sana," papar Maximus.
Namun ketika kami masuk ke kliniknya, dahi ini pun mengerenyit. Rupanya, klinik ini sangat tidak terurus. Pecahan kaca di mana-mana dan tidak ada satu orang pun yang berobat. Kenapa begini Maximus?
"Ini karena tidak ada dokter. Tidak ada dokter yang mau ke sini. Saya sudah minta ke Pemkab Intan Jaya sejak tahun 2008, tapi tidak ada yang ke sini juga. 3.000 Warga di sini tanpa pelayanan kesehatan," jawabnya sedikit emosi.
Maximus menambahkan, klinik tersebut sebenarnya juga disiapkan untuk turis pendaki yang akan naik ke Carstensz. Sehingga, kalau terdapat turis yang sakit atau mengalami cidera saat hendak menuju ke Puncak Carstensz, sementara bisa dirawat di sana. Tapi sayang, sampai saat ini hal tersebut belum terwujud.
Dari klinik, tim jurnalis selanjutnya diajak ke sekolah. Sekolah itu hanya terdiri dari 4 ruangan dan masih menggunakan papan tulis kapur. Sekolahnya pun tampak sangat, sangat sederhana.
"Untuk sekolah, kami kekurangan guru dan buku-buku. Guru yang sudah ada, mengajar di sini tanpa di bayar. Kami tidak bisa berbuat apa-apa," ucap Maximus.
Pelajaran yang paling utama diajarkan, adalah mengenai baca dan tulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Sayang, kala itu sekolah sedang libur karena masih dalam peringatan hari kemerdekaan. Jadi, kami tidak bisa menemui para siswanya.
"Harapan saya, agar pemerintah khususnya pemerintah Papua dan Pemkab Intan Jaya mau membantu memberikan dokter dan tenaga pengajar untuk sekolah. Untuk tempat tinggal dokter dan helipad, tidak masalah, akan kami buat. Tapi tolong, perhatikanlah kami yang ada di pedalaman Papua ini," ungkap Maximus.
Tim jurnalis, ternyata bukan 'turis' pertama yang melihat kondisi klinik dan sekolah tersebut. Beberapa turis mancanegara yang Maximus pernah pandu untuk mendaki Puncak Carstensz, juga sudah melihat kondisi klinik dan sekolahnya. Apa kata mereka?
"Turis asing saja mengaku sedih melihat kondisi seperti ini," kata Maximus lirih.
(rdy/Aditya Fajar Indrawan)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol