Rangkaian ritual bakar tongkang atau dalam istilah Tionghoa dengan sebutan 'Go Gwee Cap Lak' kembali diselenggarakan warga etnis Tionghoa di Bagansiapiapi, Provinsi Riau (20/6). Acara itu selalu diselenggarakan pada bulan Juni setiap tahunnya.
Acara tersebut diawali dengan ritual sembahyang untuk mengundang Dewa Langit (Chia Thi Kong) yang diselenggarakan di kelenteng Ing Hock Khing. Di mana kelenteng ini merupakan kelenteng tertua di Bagansiapiapi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Warga yang berdoa (Hasan/detikTravel)
Suasana ramai di Kelenteng Ing Hock Khing (Hasan/detikTravel)
Sampai saat ini sedang dalam tahap penyelesaian dan rencananya akan baru dikeluarkan dari tempat penyimpanan sekitar pukul 17.00 dan dibawa menuju kelenteng untuk upacara penyambutan.
"Tongkang sudah kami kerjakan selama sebulan lebih dan akan dikeluarkan nanti sore dan diletakkan di depan kelenteng, " ujar salah satu pekerja tongkang bernama Kim Lo.
Nantinya tongkang tersebut akan ditempatkan di depan kelenteng Ing Hock Khing hingga esok sore (21/6) dan kemudian akan dibawa kelokasi pembakan dan dibakar. Bakar tongkang sendiri merupakan bentuk pemujaan terhadap Dewa Laut.
Acara biasanya diawali dengan prosesi sembahyang untuk mengundang Dewa Langit kemudian mengarak tongkang atau kapal keliling Bagansiapiapi lalu dibakar.
Akan dibakar sebagai bentuk penghormatan (Hasan/detikTravel)
Ritual ini menjadi kalender wisata unggulan di Riau. Betapa tidak ribuan masyarakat dari berbagai belahan dunia datang menyaksikan ritual ini. Bagi masyarakat bukan sekadar tradisi, dia memiliki beragam makna khususnya peruntungan.
Tradisi Bakar Tongkang ini diperingati setiap tanggal 16 di bulan kelima setelah perayaan Tahun Baru China atau terkenal dengan istilah Go Gwee Cap Lak. Menurut cerita, tahun 1800-an ada sekitar 18 orang Tionghoa melakukan migrasi dari dataran China. Mereka berlayar menggunakan 3 kapal kayu yang disebut wang kang atau tongkang.
Di tengah pelayaran, badai menghantam dua tongkang. Tongkang yang selamat akhirnya sampai di Bagansiapiapi yang saat itu masih berupa hutan. Di dalam tongkang yang selamat itu terdapat patung dewa laut Ki Ong Ya dan Tai Su Ong.
Ke-18 orang Tionghoa yang selamat tersebut kemudian bertekad untuk tidak kembali ke tempat asal dengan membakar kapal tongkang yang mereka gunakan untuk tinggal selamanya di Bagansiapiapi. Acara bakar tongkang sendiri telah diselenggarakan di Kota Ikan (Bagansiapiapi) sejak tahun 1878, atau sudah berlangsung sejak 134 tahun silam. Pada zaman orba sempat dilarang tetapi kemudian diaktifkan kembali di era Gus Dur.
Tongkang yg dibuat akan diarak oleh puluhan ribu warga etnis Tionghoa dari Kelenteng Ing Hok Kiong yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari tempat pembakaran. Selain mengarak tongkang, masyarakat Tionghoa juga mengarak berbagai ornamen kepercayaan mereka dan pawai budaya.
Karena popularitasnya tradisi tahunan ini berhasil masuk menjadi salah satu nominasi "Anugerah Pesona Indonesia" untuk kategori festival budaya terpopuler.
(hab/shf)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!