Seram atau Keren? 3 Kuburan Unik di Indonesia

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Keajaiban Indonesia Tengah

Seram atau Keren? 3 Kuburan Unik di Indonesia

Ahmad Masaul Khoiri - detikTravel
Kamis, 30 Mar 2017 18:10 WIB
Seram atau Keren? 3 Kuburan Unik di Indonesia
Tengkorak di Kuburan Trunyan (Sastri/detikTravel)
Jakarta - Ratusan suku dengan berbagai adat istiadat di Indonesia punya kekayaan akan kearifan lokal. Tak terlepas dari itu, ada 3 kuburan unik di Indonesia Tengah!

Tiga kuburan ini terletak di dua pulau berbeda, yakni Bali dan Sulawesi. Legenda, mitos, dan kepercayaan amat erat kaitannya dengan kuburan ini.

Hal ini dikarenakan tak setiap orang meninggal bisa dikubur di lokasi yang sekarang juga menjadi cagar budaya ini. Apa dan di mana saja, detikTravel telah merangkumnya secara lengkap, Kamis (30/3/2017).

1. Kuburan Trunyan Bangli, Bali

Ancak saji sebagai penutup jenazah (Sastri/detikTravel)
Tengkorak berceceran di Kuburan Trunyan, Kabupaten Bangli, Bali. Berbeda dengan tradisi pemakaman pada umumnya, mayat-mayat di sini tak ada yang dikubur. Meski dibiarkan begitu saja di atas tanah, tak ada bau bangkai yang tercium.

Legenda dan tradisi bermain di sini. Kuburan Trunyan yang berada di sisi timur Danau Batur memang disebut-sebut sebagai kuburan paling ngeri di Indonesia. Betapa tidak, wisatawan bisa melihat deretan tengkorak yang tercecer di banyak tempat.

Mengintip deretan ancak saji (penutup jenazah), kita bisa melihat sisa rambut atau pakaian si jenazah. Adalah Taru Menyan alias Pohon Wangi, pohon yang disingkat menjadi nama Trunyan.

Pohon besar inilah yang konon menghasilkan aroma semerbak, menghilangkan bau bangkai di udara. Menurut legenda, Taru Menyan-lah yang wanginya menghipnosis 4 bersaudara dari Keraton Surakarta untuk mengarungi daratan dan lautan hingga tiba di Desa Trunyan.

Singkat cerita, 4 bersaudara itu terdiri dari 4 laki-laki dan si bungsu perempuan. Setibanya di Trunyan sang kakak sulung jatuh cinta kepada Dewi penunggu pohon tersebut. Setelah menikah, jadilah Trunyan sebuah kerajaan kecil.

Meski sang Dewi penunggu pohon telah menikah, Taru Menyan masih mengeluarkan wangi. Akibat takut diserang dari luar karena semerbak wanginya, sang Raja memerintahkan warga untuk menghapus wangi itu dengan cara meletakkan jenazah begitu saja, di atas tanah.

Hingga kini Pohon Taru Menyan masih berdiri gagah. Akar-akar besarnya menyulur ke berbagai tempat, termasuk deretan ancak saji berisi jenazah dan benda-benda peninggalan sang empunya. Ada piring, foto berpigura, sapu tangan, baju, perhiasan, dan lain-lain.

I Wayan Asli, seorang warga Desa Trunyan tahu betul seluk-beluk kuburan ini, dari legenda sampai tradisinya. Sambil berkeliling melihat tengkorak yang 'tercecer' di sana-sini, pria bertubuh kekar itu bercerita. Tradisi membiarkan jenazah tanpa dikubur ini sudah ada ratusan tahun lamanya. Tapi bukan berarti tanpa prosesi.

"Mayatnya harus utuh dan meninggal secara normal, tak ada luka seperti mayat kecelakaan. Layak atau tidaknya jenazah disimpan di sini juga ditentukan baik atau buruknya orang itu semasa hidup," tutur I Wayan Asli kepada detikTravel beberapa waktu lalu.

Saat mengantar jenazah ke Kuburan Trunyan, wanita tak boleh ikut. Sebelum menaruh mayat di atas tanah, ancak saji yang paling pinggir digeser tulang-tulangnya. Tengkorak ditaruh di sembarang tempat, tulang-tulang berserakan di atas tanah. Anjak saji kosong itulah yang kemudian ditukar 'isinya' dengan jenazah yang baru meninggal.

"Jumlah kuburan yang tertutup 'ancak saji' hanya 11. Kalau sudah penuh ya digeser, yakni tulang belulang yang paling tua," tambah I Wayan.

Di kuburan ini, aura mistis selalu menemani setiap saya melangkahkan kaki. Undakan-undakan dari batu dan tanah mengantar saya menuju beberapa titik lain yang penuh tulang selain ancak saji. Tengkorak berderet di salah satu sisi, seperti memandang kosong ke udara.

Lalu bagaimana dengan jasad warga yang memiliki luka atau belum berkeluarga dikuburkan? Ternyata, Desa Trunyan memiliki 3 jenis kuburan yang berlokasi di tempat yang berbeda. Pertama adalah kuburan dengan pohon menyan yang kini menjadi obyek wisata tersebut. Kedua adalah kuburan bayi yang berlokasi di pusat Desa Trunyan.

Jangan membayangkan yang dikuburkan di sini hanya bayi saja mengingat namanya 'kuburan bayi'. Selain bayi yang baru lahir, warga yang belum pernah menikah dan anak-anak yang belum ketus gigi (belum kehilangan gigi susu) juga dikuburkan di sini. Mayat bayi akan disemayamkan di gua-gua tebing yang terbentuk alami. Sementara mayat orang dewasa akan dikuburkan seperti biasa di dalam liang.

Kuburan ketiga adalah kuburan yang diperuntukkan bagi jasad warga yang meninggal secara tidak wajar atau salah pati seperti kecelakaan, bunuh diri, dan jasad-jasad yang memiliki luka. Jasad-jasad ini akan dikubur selayaknya penguburan mayat seperti di daerah-daerah lain. Kuburan ini terletak di perbatasan Desa Trunyan dan Desa Abang.

Masyarakat Desa Trunyan juga mengenal upacara Ngaben seperti daerah-daerah lain di Bali. Uniknya, jika di daerah lain di Bali mayat seseorang yang meninggal atau tulang belulangnya yang akan dikremasi, Desa Trunyan tidak demikian.

Pada saat Upacara Ngaben, jasad atau tulang-belulang digantikan dengan kayu cendana yang ditulisi nama almarhum atau mendiang. Lalu kayu cendana itulah yang dibakar. Mengapa bukan tulang-belulangnya saja yang dibakar? Karena tulang belulang tersebut sudah susah dikenali dulunya siapa dan seiring waktu tulang tersebut hancur karena dibiarkan tergeletak di kuburan.

Berhubung kuburan Trunyan ini hanya bisa ditempuh lewat jalur air, maka prosesi pengusungan jenazah harus dilakukan dengan perahu dayung. Para pelayat boleh menggunakan boat. Tetapi lebih unik lagi para perempuan Desa Trunyan tidak diizinkan untuk memasuki area kuburan Trunyan.

Di kuburan Trunyan ini hanya ada satu Pohon Taru Menyan raksasa yang menjulang tinggi. Cobalah mencium ranting-ranting pohonnya untuk membuktikan ada wangi yang menyeruak, namun tidak ada wewangian lagi, pun setelah melukai rantingnya.

Informasi yang dihimpun, pemerintah telah mencoba mengembangbiakkan pohon ini dengan berbagai cara seperti stek, cangkok, atau mencari biji buahnya untuk ditanam. Hasilnya nihil karena dipastikan batang yang mereka stek atau cangkok membusuk dan buah pohon menyan ini tidak memiliki biji. Murni kuasa Tuhan yang ikut campur di sini.

Meski menyeramkan, tak sedikit wisatawan yang penasaran dan ingin melihat sendiri Kuburan Trunyan. Mencapai tempat ini juga tergolong gampang dengan menyewa perahu dari Dermaga Kedisan di salah satu sisi Danau Batur, langsung menuju Kuburan Trunyan.

Harga per perahunya mulai Rp 50.000-100.000, dengan waktu tempuh sekitar 30 menit sekali jalan. Perahu ini bisa membawa sampai 5 wisatawan sekali jalan.

2. Kuburan Lemo, Tana Toraja

Makam tebing Lemo (Melissa Bonauli/detikTravel)
Makam memang tak jauh dari kata mistis. Tapi di Toraja makam bukan cuma mistis tapi instagramable karena menjadi destinasi wisata.

Salah satu makam yang jadi obyek wisata adalah Lemo di Desa Lemo. Desa ini dapat ditempuh sekitar 30 menit dari Kota Makale. Sebuah plang bertuliskan Obyek Wisata Lemo juga sudah terpampang di pinggir jalan.

Suku Toraja yang tinggal di utara Makale, Sulawesi Selatan, mempercayai bila letak makamnya lebih tinggi maka semakin dekat dengan Tuhan. Oleh sebab itulah, mereka membangun makam di atas tebing batu yang dikenal dengan nama Makam Batu Lemo

Lemo menjadi salah satu makam yang ada di Toraja. Berbentuk bukit dan penuh boneka kayu bernama Tao-tao. Di depan gerbang Lemo, traveler harus membayar tiket sebesar Rp 10.000 per orang. Di sambut dengan beberapa toko suvenir, traveler bisa mampir membeli kerajinan tangan asli buatan pengrajin.

Berbeda dengan Kete Kesu, makam di Lemo tidak digantung tapi di masukkan ke dalam tebing. Tebing akan dipahat menjadi liang dengan bentuk kotak dan diberi pintu. Harga satu makam Rp 100 juta lho!

Boneka-boneka kayu di depan pintu makam seakan bertugas menjaga kuburan. Warna pakaian boneka yang warna-warni membuat makam terlihat cantik tapi juga seram. Persis dibawah makam tergeletak beberapa keranda cantik yang memiliki atap seperti tongkonan.

Peti dan hiasan bunga juga diletakkan begitu saja di bawah tebing atau di samping keranda. Peti yang terlalu besar tidak akan dibawa masuk ke liang makam. Ini biasa terjadi pada mayat yang dikirim dari luar Toraja.

Biasanya keluarga yang merantau dan ingin dikuburkan di sini. Peti yang kebesaran tidak dibawa masuk ke dalam kuburan. Makam ini masih berdekatan dengan rumah warga desa. Menurut mereka suasana makam akan terasa 'sesuatu' ketika ada seseorang yang baru dikuburkan di situ.

Rasa lelah karena tangga yang naik turun akan hilang begitu lihat sisi berlawanan dari makam. Sawah luas dan hijau akan memanjakan mata traveler.

3. Waruga, Kuburan Jongkok Minahasa

Kuburan Jongkok Waruga, Minahasa (Rangga/detikTravel)
Di Sulawesi Utara, banyak wisata sejarah berupa pemakaman yang unik. Jika di Toraja ada kuburan di tebing batu, maka di Minahasa ada Waruga.

Ialah kuburan batu dimana jenazah dimakamkan dalam posisi berjongkok. Kini, ia menjadi Cagar Budaya Waruga.

Taman Waruga ini berada di Desa Sawangan, Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Taman budaya ini menyimpan makam budaya bersejarah.

Anton Jatuna sebagai juru pelihara wilayah kerja Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo, menjelaskan tamu di taman budaya ini tak dibolehkan membongkar batu makam. Makam ini adalah tumpukan batu, yang dulunya di dalam batu itu disimpan jenazah.

"Dari satu batu balok besar dipahat. Jenazah ditaruh di dalam batu. Kondisi jenazah seperti dalam keadaan jongkok untuk menggambarkan posisi di dalam janin," kata Anton.

Namun di tahun 1800-an, jenazah yang ada di dalam batu harus dipindahkan. Sebab, di wilayah ini terserang wabah penyakit kolera.

"Ini makamnya sudah dari tahun dari 800 sampai 1800. Sejak 1800 kuburan dalam tanah," sebut Anton.
Halaman 2 dari 4
Tengkorak berceceran di Kuburan Trunyan, Kabupaten Bangli, Bali. Berbeda dengan tradisi pemakaman pada umumnya, mayat-mayat di sini tak ada yang dikubur. Meski dibiarkan begitu saja di atas tanah, tak ada bau bangkai yang tercium.

Legenda dan tradisi bermain di sini. Kuburan Trunyan yang berada di sisi timur Danau Batur memang disebut-sebut sebagai kuburan paling ngeri di Indonesia. Betapa tidak, wisatawan bisa melihat deretan tengkorak yang tercecer di banyak tempat.

Mengintip deretan ancak saji (penutup jenazah), kita bisa melihat sisa rambut atau pakaian si jenazah. Adalah Taru Menyan alias Pohon Wangi, pohon yang disingkat menjadi nama Trunyan.

Pohon besar inilah yang konon menghasilkan aroma semerbak, menghilangkan bau bangkai di udara. Menurut legenda, Taru Menyan-lah yang wanginya menghipnosis 4 bersaudara dari Keraton Surakarta untuk mengarungi daratan dan lautan hingga tiba di Desa Trunyan.

Singkat cerita, 4 bersaudara itu terdiri dari 4 laki-laki dan si bungsu perempuan. Setibanya di Trunyan sang kakak sulung jatuh cinta kepada Dewi penunggu pohon tersebut. Setelah menikah, jadilah Trunyan sebuah kerajaan kecil.

Meski sang Dewi penunggu pohon telah menikah, Taru Menyan masih mengeluarkan wangi. Akibat takut diserang dari luar karena semerbak wanginya, sang Raja memerintahkan warga untuk menghapus wangi itu dengan cara meletakkan jenazah begitu saja, di atas tanah.

Hingga kini Pohon Taru Menyan masih berdiri gagah. Akar-akar besarnya menyulur ke berbagai tempat, termasuk deretan ancak saji berisi jenazah dan benda-benda peninggalan sang empunya. Ada piring, foto berpigura, sapu tangan, baju, perhiasan, dan lain-lain.

I Wayan Asli, seorang warga Desa Trunyan tahu betul seluk-beluk kuburan ini, dari legenda sampai tradisinya. Sambil berkeliling melihat tengkorak yang 'tercecer' di sana-sini, pria bertubuh kekar itu bercerita. Tradisi membiarkan jenazah tanpa dikubur ini sudah ada ratusan tahun lamanya. Tapi bukan berarti tanpa prosesi.

"Mayatnya harus utuh dan meninggal secara normal, tak ada luka seperti mayat kecelakaan. Layak atau tidaknya jenazah disimpan di sini juga ditentukan baik atau buruknya orang itu semasa hidup," tutur I Wayan Asli kepada detikTravel beberapa waktu lalu.

Saat mengantar jenazah ke Kuburan Trunyan, wanita tak boleh ikut. Sebelum menaruh mayat di atas tanah, ancak saji yang paling pinggir digeser tulang-tulangnya. Tengkorak ditaruh di sembarang tempat, tulang-tulang berserakan di atas tanah. Anjak saji kosong itulah yang kemudian ditukar 'isinya' dengan jenazah yang baru meninggal.

"Jumlah kuburan yang tertutup 'ancak saji' hanya 11. Kalau sudah penuh ya digeser, yakni tulang belulang yang paling tua," tambah I Wayan.

Di kuburan ini, aura mistis selalu menemani setiap saya melangkahkan kaki. Undakan-undakan dari batu dan tanah mengantar saya menuju beberapa titik lain yang penuh tulang selain ancak saji. Tengkorak berderet di salah satu sisi, seperti memandang kosong ke udara.

Lalu bagaimana dengan jasad warga yang memiliki luka atau belum berkeluarga dikuburkan? Ternyata, Desa Trunyan memiliki 3 jenis kuburan yang berlokasi di tempat yang berbeda. Pertama adalah kuburan dengan pohon menyan yang kini menjadi obyek wisata tersebut. Kedua adalah kuburan bayi yang berlokasi di pusat Desa Trunyan.

Jangan membayangkan yang dikuburkan di sini hanya bayi saja mengingat namanya 'kuburan bayi'. Selain bayi yang baru lahir, warga yang belum pernah menikah dan anak-anak yang belum ketus gigi (belum kehilangan gigi susu) juga dikuburkan di sini. Mayat bayi akan disemayamkan di gua-gua tebing yang terbentuk alami. Sementara mayat orang dewasa akan dikuburkan seperti biasa di dalam liang.

Kuburan ketiga adalah kuburan yang diperuntukkan bagi jasad warga yang meninggal secara tidak wajar atau salah pati seperti kecelakaan, bunuh diri, dan jasad-jasad yang memiliki luka. Jasad-jasad ini akan dikubur selayaknya penguburan mayat seperti di daerah-daerah lain. Kuburan ini terletak di perbatasan Desa Trunyan dan Desa Abang.

Masyarakat Desa Trunyan juga mengenal upacara Ngaben seperti daerah-daerah lain di Bali. Uniknya, jika di daerah lain di Bali mayat seseorang yang meninggal atau tulang belulangnya yang akan dikremasi, Desa Trunyan tidak demikian.

Pada saat Upacara Ngaben, jasad atau tulang-belulang digantikan dengan kayu cendana yang ditulisi nama almarhum atau mendiang. Lalu kayu cendana itulah yang dibakar. Mengapa bukan tulang-belulangnya saja yang dibakar? Karena tulang belulang tersebut sudah susah dikenali dulunya siapa dan seiring waktu tulang tersebut hancur karena dibiarkan tergeletak di kuburan.

Berhubung kuburan Trunyan ini hanya bisa ditempuh lewat jalur air, maka prosesi pengusungan jenazah harus dilakukan dengan perahu dayung. Para pelayat boleh menggunakan boat. Tetapi lebih unik lagi para perempuan Desa Trunyan tidak diizinkan untuk memasuki area kuburan Trunyan.

Di kuburan Trunyan ini hanya ada satu Pohon Taru Menyan raksasa yang menjulang tinggi. Cobalah mencium ranting-ranting pohonnya untuk membuktikan ada wangi yang menyeruak, namun tidak ada wewangian lagi, pun setelah melukai rantingnya.

Informasi yang dihimpun, pemerintah telah mencoba mengembangbiakkan pohon ini dengan berbagai cara seperti stek, cangkok, atau mencari biji buahnya untuk ditanam. Hasilnya nihil karena dipastikan batang yang mereka stek atau cangkok membusuk dan buah pohon menyan ini tidak memiliki biji. Murni kuasa Tuhan yang ikut campur di sini.

Meski menyeramkan, tak sedikit wisatawan yang penasaran dan ingin melihat sendiri Kuburan Trunyan. Mencapai tempat ini juga tergolong gampang dengan menyewa perahu dari Dermaga Kedisan di salah satu sisi Danau Batur, langsung menuju Kuburan Trunyan.

Harga per perahunya mulai Rp 50.000-100.000, dengan waktu tempuh sekitar 30 menit sekali jalan. Perahu ini bisa membawa sampai 5 wisatawan sekali jalan.

Makam memang tak jauh dari kata mistis. Tapi di Toraja makam bukan cuma mistis tapi instagramable karena menjadi destinasi wisata.

Salah satu makam yang jadi obyek wisata adalah Lemo di Desa Lemo. Desa ini dapat ditempuh sekitar 30 menit dari Kota Makale. Sebuah plang bertuliskan Obyek Wisata Lemo juga sudah terpampang di pinggir jalan.

Suku Toraja yang tinggal di utara Makale, Sulawesi Selatan, mempercayai bila letak makamnya lebih tinggi maka semakin dekat dengan Tuhan. Oleh sebab itulah, mereka membangun makam di atas tebing batu yang dikenal dengan nama Makam Batu Lemo

Lemo menjadi salah satu makam yang ada di Toraja. Berbentuk bukit dan penuh boneka kayu bernama Tao-tao. Di depan gerbang Lemo, traveler harus membayar tiket sebesar Rp 10.000 per orang. Di sambut dengan beberapa toko suvenir, traveler bisa mampir membeli kerajinan tangan asli buatan pengrajin.

Berbeda dengan Kete Kesu, makam di Lemo tidak digantung tapi di masukkan ke dalam tebing. Tebing akan dipahat menjadi liang dengan bentuk kotak dan diberi pintu. Harga satu makam Rp 100 juta lho!

Boneka-boneka kayu di depan pintu makam seakan bertugas menjaga kuburan. Warna pakaian boneka yang warna-warni membuat makam terlihat cantik tapi juga seram. Persis dibawah makam tergeletak beberapa keranda cantik yang memiliki atap seperti tongkonan.

Peti dan hiasan bunga juga diletakkan begitu saja di bawah tebing atau di samping keranda. Peti yang terlalu besar tidak akan dibawa masuk ke liang makam. Ini biasa terjadi pada mayat yang dikirim dari luar Toraja.

Biasanya keluarga yang merantau dan ingin dikuburkan di sini. Peti yang kebesaran tidak dibawa masuk ke dalam kuburan. Makam ini masih berdekatan dengan rumah warga desa. Menurut mereka suasana makam akan terasa 'sesuatu' ketika ada seseorang yang baru dikuburkan di situ.

Rasa lelah karena tangga yang naik turun akan hilang begitu lihat sisi berlawanan dari makam. Sawah luas dan hijau akan memanjakan mata traveler.

Di Sulawesi Utara, banyak wisata sejarah berupa pemakaman yang unik. Jika di Toraja ada kuburan di tebing batu, maka di Minahasa ada Waruga.

Ialah kuburan batu dimana jenazah dimakamkan dalam posisi berjongkok. Kini, ia menjadi Cagar Budaya Waruga.

Taman Waruga ini berada di Desa Sawangan, Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Taman budaya ini menyimpan makam budaya bersejarah.

Anton Jatuna sebagai juru pelihara wilayah kerja Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo, menjelaskan tamu di taman budaya ini tak dibolehkan membongkar batu makam. Makam ini adalah tumpukan batu, yang dulunya di dalam batu itu disimpan jenazah.

"Dari satu batu balok besar dipahat. Jenazah ditaruh di dalam batu. Kondisi jenazah seperti dalam keadaan jongkok untuk menggambarkan posisi di dalam janin," kata Anton.

Namun di tahun 1800-an, jenazah yang ada di dalam batu harus dipindahkan. Sebab, di wilayah ini terserang wabah penyakit kolera.

"Ini makamnya sudah dari tahun dari 800 sampai 1800. Sejak 1800 kuburan dalam tanah," sebut Anton.

(msl/aff)

Travel Highlights
Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detikTravel
Keajaiban Indonesia Tengah
Keajaiban Indonesia Tengah
14 Konten
Indonesia itu indah, baik bagian barat, timur dan tengahnya. Ini adalah liputan khusus detikTravel mengenai Keajaiban Indonesia Tengah. Menjelaskan tiap destinasi unik nan ajaib di Indonesia bagian tengah.
Artikel Selanjutnya
Hide Ads