Lonceng raksasa itu tergantung di dalam sebuah bangunan yang tak terlalu besar. Warnanya mulai berkarat. Di bawah lonceng, terdapat monumen kecil yang menjelaskan asal-usul benda yang pernah dirampas Portugis tersebut. Lokasi penempatannya di kompleks Museum Aceh.
Keberadaan lonceng ini menjadi daya tarik tersendiri bagi traveler yang berkunjung ke Museum Aceh di Banda Aceh. Letaknya di pinggir pagar yang tak jauh dari jalan protokol menjadikannya dapat di tengok dari berbagai sudut. Wisatawan yang berkunjung dengan kendaraan roda dua pun langsung disambut lonceng usai memarkirkan motor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Nah, lonceng tersebut kemudian dibawa ke pusat kerajaan oleh Sultan Ali Mughayatsyah. Ketika masa Sultan Iskandar Muda memimpin pada abad ke-17, lonceng hadiah ini selanjutnya ditaruh di dalam kapal perang Aceh. Nama Cakra Donya sendiri diambil dari nama kapal perang yang dimiliki kerajaan Aceh.
"Cakra Donya itu kapal induk Aceh. Ukurannya hampir sama besar dengan kapal layar Ma Ho (Cheng Ho)," kata Kolektor Manuskrip Aceh, Tarmizi A Hamid kepada detikTravel, Jumat (29/9/2017).
Ketika masih dalam kekuasaan Sultan Iskandar Muda, lonceng Cakra Donya dipakai sebagai alat pemanggil jika ada hal-hal darurat terjadi di laut. Namun ketika kapal induk Aceh dirampas Portugis, keberadaan lonceng ini sempat berpindah tangan.
![]() |
"Setelah kapal induk tersebut dirampas oleh Portugis, lonceng dikembalikan ke sultanan," jelas pria yang akrab disapa Cek Midi ini.
Usai dikembalikan, lonceng ditempatkan di kompleks Istana Darud Dunia di sudut kanan Masjid Raya Baiturrahman. Fungsinya pun berubah. Dari semula sebagai kode jika ada darurat, kemudian jadi alat untuk memanggil orang salat dan penanda waktu berbuka puasa dan lainnya.
Berdasarkan informasi pada prasasti di bawah lonceng, pada abad ke-19, lonceng Cakra Donya digantung di bawah pohon di depan kantor regional Belanda Kutaraja. Pada Desember 1915, lonceng tersebut kemudian menjadi koleksi Museum Aceh.
"Jadi lonceng Cakra Donya ini rampasan perang milik Kerajaan Pasai," ungkap Cek Midi.
Lalu siapa Laksamana Cheng Ho yang memberi hadiah tersebut?
Menurut Cek Midi, Cheng Ho merupakan sosok Muslim yang taat. Dia melakukan ekspedisi ke Aceh untuk memperdalam agama. Dalam ekspedisi itulah Cheng Ho menyerahkan lonceng untuk Sultan Pasai sebagai hadiah. Pada prasasti di Museum Aceh, tertulis lonceng tersebut sebagai penanda harmonisasi Kesultanan Pasai dengan Dinasti Ming.
"Cheng Ho ini merupakan seorang China muslim. China yang taat beragama," jelas Cek Midi. (krn/aff)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum