Apabila traveler pernah berkunjung ke Belitung, umumnya banyak ditemukan warung kopi. Kopi khas Belitung memang terkenal gurih dan cita rasanya. Namun, ada lagi satu rempah yang menjadi jejak sejarah Negeri Laskar Pelangi tersebut.
Belitung juga dikenal sebagai penghasil tambang timah sejak abad ke-16. Ditambah, lokasi Belitung juga menjadi penghasil tanaman lada. Hal inilah yang membuat VOC kemudian menjalin kerja sama dengan Kesultanan Palembang untuk memasok lada ke wilayah Eropa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Misalnya saja di Desa Kacang Butor, sejumlah kepala keluarga dan ibu rumah tangga masih menjadi petani lada untuk meneruskan warisan turun termurun. Misal saja Harpan (45) yang sudah menjadi petani lada sekitar 20 tahun.
"Mulai bekerja sekitar umur 20-an, pekerjaan ini sampingan dari tambang," ujarnya saat ditemui detikcom baru-baru ini.
Harpan mengatakan, bahwa ia bersama warga sekitar pun gotong royong panen lada hingga melakukan berbagai proses hingga akhirnya dijual melalui distributor.
"2 hektar lahan bisa menampung 2 sampai 3 ribu pohon (lada dan sawit)," ujar Harpan.
Mulai dari lahan, tempat merendam hingga menjemur tanaman lada pun dilakukan di Desa Kacang Butor. Menurutnya, menjadikan lada hingga siap untuk digunakan memerlukan sekitar 2-3 minggu.
"Dari panen, kemudian direndam 2 minggu. Lalu kalau sudah direndam baru dijemur sekitar 2 hari,"
Tanaman lada yang awalnya berwarna hijau kemudian direndam dalam air dengan wadah khusus. Wadah ini terbuat dari terpal, yang berada di pinggir sungai.
Lada yang direndam selama 2-3 minggu tersebut akan berwarna coklat kekuningan. Inilah yang menandakan lada sudah siap diproses selanjutnya atau tidak.
Menurut Harpan, jenis lada hitam jauh lebih sulit ditanam dari lada putih. Karena pohon lada putih jika sudah dipanen bisa dipupuk kembali untuk menjadi buah tanaman yang baru.
"Biasanya dipupuk pas hujan, subur. Cepat prosesnya," kata dia.
Meski sudah menjadi warisan, namun nyatanya perdagangan lada di desa Kacang Butor dan wilayah Belitung lainnya tidak selamanya mulus. Kadang ada saja, beberapa faktor seperti minim panen atau bahkan harga yang jauh lebih murah dari patokan distributor.
"Sekarang (harga jual) lebih murah. 3 tahun lalu, bisa 170 ribu per kilo. Tetapi sekarang 40 ribu saja," tambah Harpan.
BACA JUGA: Kelenteng di Belitung Ini Terkenal Sampai ke Luar Negeri Lho
Harpan mengatakan, bahwa hal ini menjadi kendala besar untuk industri lada rumahan. Perkaranya, sejumlah rempah impor lebih diminati oleh ditsributor dan penjual karena terkadang dianggap lebih bagus.
Namun, lada Belitung acap kali memiliki kualitas yang tidak kalah saing. Misalnya dari segi rasa dan tekstur rempahnya.
"Masalah harga sedang mau di proses. Kadang lada impor suka lebih bagus, padahal di Belitung lebih bagus lagi. Kalau dari Thailand dan Vietnam agak panjang bentuknya, Belitung punya lebih pedas," tambah dia.
Meskipun begitu, warga sekitar masih konsisten untuk menekuni industri ini. Mereka masih menjadikan petani lada sebagai profesi turun temurun bahkan hingga anak cucunya nanti.
Tentu saja, hal ini juga harus diperhatikan khusus karena menjadi warisan budaya Indonesia dan dunia. Karena bukan saja menjadi nilai jual, tetapi juga sejarah panjang yang menjadi akar kekayaan Nusantara.
(wsw/aff)
Komentar Terbanyak
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari Trump: Kita Perlu Membesarkan Garuda
Bandara Kertajati Siap Jadi Aerospace Park, Ekosistem Industri Penerbangan