Legenda dan Mitos di Balik Meletusnya Oro-oro Kesongo

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Legenda dan Mitos di Balik Meletusnya Oro-oro Kesongo

Febrian Chandra - detikTravel
Kamis, 27 Agu 2020 22:18 WIB
Oro-oro Kesongo
Foto: Oro-oro Kesongo di Blora (Febrian Chandra/detikcom)
Blora -

Fenomena meletusnya Oro-oro Kesongo di Blora menyibak kisah legenda dan mitos di kawasan ini. Dari 9 orang sial yang ditelan ular, hingga 9 pengawal yang gugur.

Oro-oro Kesongo ini berada di Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora. Letusan yang terjadi di tempat tersebut mengeluarkan material lumpur dan gas, sehingga menghebohkan warga sekitar.

Di balik fenomena tersebut, terdapat cerita legenda dan sejarah secara turun menurun. Kepala Desa Gabusan Parsidi mengatakan, legenda cerita dongeng turun menurun yang disampaikan orang terdahulu, kawasan Kesongo itu awalnya menceritakan sembilan orang yang bernasib sial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kala itu terdapat 10 orang orang yang kehujanan. Kesepuluh orang tersebut akhirnya memutuskan berteduh di dalam gua yang berwujud seperti mulut ular," kata Paraidi saat dihubungi detikTravel, Kamis (27/08/2020).

Parsidi menjelaskan, namun karena 1 orang memiliki penyakit kulit, sembilan orang sisanya menolak seorang yang memiliki penyakit kulit untuk masuk ke dalam gua.

ADVERTISEMENT

"Yang satu orang tersebut dibiarkan kehujanan di luar. Saat kehujanan di luar, satu orang tersebut tanpa sengaja memukul-mukul tembok gua dengan senjata tajam yang biasa digunakan untuk mencari makan hewan ternak," kisahnya.

Oro-oro KesongoOro-oro Kesongo meletus Foto: Febrian Chandra/detikcom


Tanpa disadari ternyata gua tersebut merupakan jelmaan ular raksasa yang sedang bertapa. Dan akhirnya merasa terganggu, mulut ular langsung menutup. Secara otomatis sembilan orang yang berteduh di dalam mulut ular tadi tertelan. "Cerita legendanya seperti itu hingga dinamakan Kesongo," pungkasnya.

Namun jika dirunut dari sejarah, Pemerhati Sejarah Kabupaten Blora, Eko Arifianto (43) mengatakan, berdasarkan catatan buku babat Kanung, sejarah perjalan orang Jawa 230 SM - 1292 M. Dahulu pada tahun 725 Masehi ada tokoh yang bijaksana. Ia berasal dari Medang Kamulaan, Teluk Lusi Blora.

"Masih garis keturunan Datsu Dewi Simaha. Pemuda tampan dan berkarisma tersebut bernama Hang Sanjaya," kata Eko.

Eko mengatakan, Sanjaya adalah anak dari pasangan Sanaha dan Saladu. Ia dilahirkan di Sucen, Doplang atau sekarang dikenal Kecamatan Jati, Blora, Jawa Tengah atau dahulu disebut Medang Pakuwon pada akhir abad ke-7 Masehi.


Pada waktu itu pamannya yakni bernama Sana baru saja diangkat menjadi datu di Galuh Kerajaan Tarumanegara. Namun tak selang berapa lama, Sana meninggal secara tiba-tiba.

"Sana meninggal dunia akibat diracun oleh konspirasi yang terjadi di istana Galuh karena perebutan kekuasaan," terangnya.

Pangeran dari Kerajaan Tarumanegara ini ingin merebut tahta dari tangan Sana, lalu ia dibantu istrinya berhasil meracun Sana.

Mayat Sana oleh para pengikutnya dibalsam agar tidak menimbulkan bau tidak sedap. Kemudian mayatnya dibawa pulang ke kampung halamannya di Sucen, Doplang, Medang Pakuwon, Blora.

"Ia diantar oleh sembilan orang pengawalnya dan seorang pekathik (pelayannya yang bertugas memelihara kuda)," imbuhnya.

Namun sesampai di Medang Pakuwon kakak perempuan Sana yang bernama Sanaha menjadi murka dan memerintahkan 9 orang pengawalnya dibunuh karena dianggap tidak mampu melindungi keselamatan adiknya.

Oro-oro KesongoPenampakan Oro-oro Kesongo Foto: Febrian Chandra/detikcom


Hanya satu orang yang dibiarkan tetap hidup yakni seorang pemelihara kuda yang dianggap orang kecil dan tidak tahu duduk perkaranya.

"Dari situ muncul kisah cerita tutur tentang Kesongo, yaitu matinya sembilan orang yang tragis dan dramatis," pungkasnya.

Tempat 9 orang pembantu Sana dibunuh sekarang dinamakan Kesongo, yang sekarang oleh warga disebut Oro - Oro Kesongo, di Desa Gabus, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora. Tempat terbunuhnya 9 orang sekarang berupa hamparan dataran rendah dengan tanah berlumpur. Semburan lumpur bisa mencapai 3 meter.

"Di tempat itu ada tanah berlumpur yang sering menyemburkan lumpur yang disertai gas belerang yang menyebabkan banyak burung dan hewan mati karena keracunan," katanya.


Akibat semburan lumpur dengan bau gas belerang itu banyak hewan mati dan penduduk tidak perlu susah-susah berburu mencari makanan.

Eko mengatakan, Pada tahun 416 M, Keraton Medang Kamulyan di hilir sungai Lusi Blora sudah padat penduduknya. Sebagian penduduk berpindah ke arah Barat Daya menyusuri Sungai Lusi hingga mencapai hutan jati di wilayah Blora Selatan. Para pendatang membangun pemukiman baru. Wilayah tersebut diberi nama Pakuwuan atau Pakuwon dengan lokasi kedaton di Sucen.

Kedaton dipimpin oleh seorang perempuan bernama Sanaha. Sanaha adalah kakak perempuan Sana penguasa Galuh Kerajaan Tarumanegara yang merupakan garis keturunan Kandayun.

"Medang Pakuwon sekarang terletak di Desa Kesongo, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Sanaha menjadi jatuh di Medang Pakuan pada tahun 696 Masehi," tutupnya.

(wsw/ddn)

Hide Ads