Suku Arfak di Pegunungan Arfak, Papua Barat selalu punya daya tarik. Kali ini yang akan dibahas adalah rumah tradisionalnya, rumah kaki seribu.
Rumah kaki seribu atau dalam bahasa setempat disebut mod aki aksa atau igkojei berfungsi sebagai tempat tinggal, mendidik anak dan kegiatan pesta adat.
Dikenal sebagai rumah kaki seribu karena berbentuk rumah panggung persegi, menggunakan banyak kayu penyangga sebagai tiang, sehingga nampak bertiang seribu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dinding rumah terbuat dari kulit pohon butska. Atapnya terbuat dari daun pandan, sedangkan lantainya dari belahan nibung atau bambu.
Melalui celah-celah di lantai, udara segar bisa masuk ke dalam rumah itu, dengan kolong rumah yang luas sering digunakan untuk menyimpan kayu bakar dan juga sebagai kandang babi. Ciri khas rumah kaki seribu adalah hanya memiliki dua pintu, depan dan belakang serta tanpa jendela.
Dalam suatu rumah kaki seribu biasanya terdapat beberapa kamar, yakni kamar untuk wanita dan kamar untuk pria serta sebuah ruang dengan suatu tempat khusus untuk upacara dan pesta adat. Sementara lantai di ruang tengah itu dibiarkan kosong, tidak dialasi batang-batang nibung, sehingga jika ada pesta adat berupa tarian dilakukan di atas tanah.
Sejak diberlakukannya program pemberdayaan kampung di wilayah itu, masyarakat Arfak mulai meninggalkan rumah kaki seribu dan lebih suka membangun rumah modern berlantai semen, atap seng, dinding batako dan berjendela kaca.
Rumah kaki seribu sejatinya bukan sekedar bangunan, melainkan juga kebudayaan karena mencerminkan lingkungan hidup, kepercayaan, dan cara hidup komunitas setempat.
Melestarikan rumah tradisional Arfak berarti menjaga budaya yang hidup di dalam masyarakat.
Pelestarian rumah kaki seribu tidak hanya mencakup fisik saja tetapi juga pengetahuan dan keahlian suku Arfak dalam membangun rumah kaki seribu. Kearifan membangun rumah kaki seribu bisa menjadi kajian menarik untuk perkembangan ilmu pengetahuan modern. Tradisi rumah kaki seribu perlu dilestarikan, dengan menjadikannya sebagai bahan ajar muatan lokal sekolah.
***
Artikel ini merupakan kiriman pembaca dari Hari Suroto, peneliti dari Balai Arkeologi Papua. Artikel ini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksi.
(bnl/bnl)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Tragedi Juliana di Rinjani, Pakar Brasil Soroti Lambatnya Proses Penyelamatan