DOMESTIC DESTINATIONS
Museum Multatuli Saksi Antikolonialisme oleh Meneer Belanda kepada Negaranya

Museum Multatuli dibangun bukan untuk mendewakan sang tokoh, Multatuli alias Eduard Douwes Dekker. Museum Multatuli menjadi penanda gugatannya terhadap kolonialisme Belanda serta pusat informasi tentang Rangkasbitung, Lebak, dan Banten.
Tiga monumen berupa patung Multatuli alias Eduard Douwes Dekker, Adinda, dan Saidjah menyambut siapa saja yang mengunjungi Museum Multatuli. Sejak September 2021, traveler akan disapa instalasi bubu, anyaman bambu untuk menangkap ikan khas Banten, lebih dulu di gerbang masuk. Instalasi bambu ini bersifat temporer.
Multatuli adalah tokoh yang menjadi nama museum. Dia pria kelahiran Amsterdam pada 2 Maret 1820. Dia menjabat sebagai aisten residen di Lebak, Banten. Multatuli tidak lama menduduki jabatan itu, cuma tiga bulan, mulai 21 Januari 1856 hingga 29 Maret 1856.
![]() |
Multatuli memilih untuk mundur dari jabatannya itu karena tidak tahan dan kecewa berat terhadap penindasan dan kekejaman yang dilakukan penguasa lokal ataupun kolonial terhadap rakyat Banten.
Dari situlah muncul karyanya yang fenomenal dan mengguncang dunia, Max Havelaar. Roman satir itu terbit pertama kali pada 15 Mei 1960 dan menyuguhkan realitas masyarakat Lebak yang miskin di tengah kolonial dan feodalisme yang mengeruk keuntungan warga. Sejak itu, Multatuli dianggap sebagai salah satu pelopor Belanda yang menentang sistem kolonialisme yang kejam.
"Lebak menjadi pintu masuk Multatuli untuk menggugat Belanda," kata Ubaidilah Muchtar, kepala Museum Multatuli, dalam perbincangan dengan detikTravel, Senin (10/1/2022).
Baca juga: Jejak Penjajahan Belanda di Priangan |
Sementara itu, Saidjah dan Adinda adalah tokoh di dalam novel Max Havelaar. Dua tokoh itu juga menjadi nama perpustakaan yang berdiri tepat di samping Museum Multatuli, Museum Saidjah dan Adinda.
Bangunan utama Museum Multatuli berupa bekas bangunan Kawedanan Rangkasbitung. Bnetuknya seperti huruf T, dengan bagian terdepan adalah pendopo dan menyambung dengan ruangan utama.
Museum Multatuli diresmikan oleh Bupati Lebak pada 11 Februari 2018. Museum itu dirancang secara modern dengan audio visual dan tata pameran yang interaktif.
"Ketika peresmian pada 11 Februari 2018, kami berharap museum ini bisa mendorong milenial untuk mengenal Multatuli dan Max Havelaar. Sebab, sudah terjadi rentang jarak yang cukup jauh dari Multatuli dan generasi saat ini. pada 2 Maret, pada hari kelahiran Multatuli, nanti jaraknya 201 tahun. Kami ingin mendorong lebih kekinian, agar men-trigger milenial lebih dekat dengan sejarah, membaca kembali Max Havelaar," kata Ubay, sapaan karib Ubaidilah Muchtar.
Ubay menyebut ada banyak hal yang bisa didapatkan pengunjung Museum Multatuli. Di antaranya, bisa mengetahui narasi tentang kolonialisme dan antikolonialisme secara gamblang dan pengalaman memasuki museum dengan memaksimalkan panca indra.
Ya, Museum Multatuli adalah musim antikolonialisme pertama dan hingga kini menjadi satu-satunya di Indonesia. Di museum ini, traveler bisa menggunakan pendengaran, menyentuh patung, mencium aroma pala, cengkeh, dan kopi, juga mendengarkan podcast dan menonton sinema yang disajikan.
"Pengalaman pengunjung akan menjadi utuh," kata Ubay.
Seperti roman Max Havelaar yang bercerita secara satir, Museum Multatuli juga menghadirkan hal-hal satir yang bermakna mendalam. Di antaranya tentang butir-butir kopi yang ditata di dalam lemari kaca.
![]() |
"Di sini, traveler juga diajak untuk tidak sekadar menikmati kopi. Tetapi, mengetahui bahwa kopi adalah sebuah satir. Kopi yang hitam disajikan di rumah-rumah mewah di Eropa," ujar Ubay.
"Kopi yang adalah produk yang paling menguntungkan pemerintah belanda tetapi paling menyakitkan buat kita. Biji kopi itu hitam sehitam rakyat kita yang bekerja keras, tetapi dinikmati orang-orang Eropa. Di sini, rakyat hanya menikmati daunnya saja. Hingga muncullah kopi daun," kata Ubay.
Halaman berikutnya >>> Museum Multatuli Bukan untuk Medewakan Multatuli