DOMESTIC DESTINATIONS
Kisah Kuda Sakral di Bali, Tak Sembarang Orang Bisa Menunggangi

Kuda putih di Pura Ulun Pecangakan, Bali ini bukan sembarang kuda. Kuda ini disakralkan oleh masyarakat setempat. Tak sembarang orang boleh menaikinya.
Konon sosok Jaran Bana Rana, merupakan nama kuda putih yang menjadi tunggangan Raja Pecangakan yang kini kembali dilestarikan. Kuda ini berada di luar Pura Pecangakan, tepatnya di Utara Lapangan Pecangakan, Jembrana, Bali.
Kuda putih tersebut setiap harinya dirawat dan dijaga 24 jam oleh petugas dari Dinas Pertanian dan Peternakan Jembrana. Jro Mangku Pura Ulun Pecangakan I Ketut Warken (68) menjelaskan, awal mula adanya kuda kesayangan Raja Pecangakan, I Gusti Ngurah Gde Pecangakan.
"Sebelumnya, dari cerita orang tua terdahulu, Jaran Bana Rana ini merupakan kuda kesayangan Raja Pecangakan, dan memang menjadi tunggangan raja ketika melakukan peperangan serta bepergian ke luar kerajaan," ungkap Jro Mangku Warken.
Pada saat Raja Pecangakan hendak mengunjungi Raja Bakungan di Kelurahan Gilimanuk, dia sempat berpesan kepada permaisurinya untuk menjaga kerajaan saat dirinya pergi. Raja Pecangakan juga meminta jika Bana Rana pulang tanpa dirinya serta berlumuran darah, agar dia mengikhlaskan kepergiannya.
"Namun saat raja sampai di Kerajaan Bakungan, Bana Rana terlepas dari ikatannya dan sempat menabrak warga Bakungan yang sedang menyembelih kerbau dan hewan lainnya, sehingga berlumuran darah. Bana Rana kemudian pulang ke Kerajaan Pecangakan tanpa raja diatasnya," jelas Jero Mangku Warken.
Sesampainya di Kerajaan Pecangakan, lanjut Jero Mangku Warken, betapa terkejutnya seluruh masyarakat lantaran kuda kesayangan raja pulang tanpa dirinya, sehingga kerajaan menjadi kacau.
"Permaisuri yang mengira raja telah tiada kemudian membuang seluruh harta kerajaan di sebuah sumur, dan permaisuri beserta seluruh petinggi kerajaan mengakhiri hidupnya," jelasnya.
Setibanya Raja Pecangakan dan menyaksikan kacaunya kerajaannya sangat merasa marah, sehingga memerintahkan Raja Bakungan untuk mengakhiri hidupnya. Akibat kekuatan Raja Pecangakan yang begitu besar, seluruh senjata yang diarahkan ke tubuhnya tidak mempan.
Sehingga Raja Bakungan serta Raja Pecangakan sepakat mengakhiri hidupnya dengan bersama-sama menceburkan diri ke sungai Tibu Kleneng perbatasan antara Desa Perancak dan Desa Budeng.
"Kedua raja tersebut saling mengikat satu sama lain dan menceburkan diri ke Sungai Tibu Kleneng. Sehingga di wilayah hutan mangrove Desa Budeng, Kecamatan Jembrana dibuatkan pura yang dinamakan Pura Kembar untuk mengingat tempat kedua Raja Hebat yang mengakhiri hidupnya," imbuh Jro Mangku Warken.
Dengan kisah tersebut, lanjut Jro Mangku Warken, sehingga kini sosok kuda putih kembali dilestarikan di Pura Ulun Pecangakan. Kini kuda tersebut sudah di upacarai sehingga tidak sembarang orang boleh menungganginya.
"Sempat beberapa pejabat menunggangi Banu Ranu, namun keesokan harinya pasti sakit, dan menghaturkan banten untuk meminta maaf," ujarnya.
-----
Artikel ini telah naik di detikBali dan bisa dibaca selengkapnya di sini.
Simak Video "Ini Dia Kuliner Ekstrem Sate Kuda dan Satu-satunya di Ponorogo"
[Gambas:Video 20detik]
(wsw/wsw)