Pura Langgar Bangli, Bali memang sebuah keniscayaan. Keberadaan langgar atau musala di dalam komplek pusat agama Hindu itu juga membuat tiada lagi penyembelihan babi di sana.
Jadi, ketika hari raya tiba, masyarakat di sana yang menggunakan Pura Langgar sebagai pusat keagamanaan tidak akan mempersembahkan daging babi atau menyembelih babi di sana.
"Semenjak dibangun musala atau langgar di sini, kami tidak lagi menyembelih babi atau menggunakannya sebagai sesembahan," kata Agung Alit, perawat Pura Langgar Bangli, Bali kepada detikcom beberapa waktu lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Agung menyebut bahwa ketiadaan penyembelihan babi di sana diikuti adanya kurban. Benar, kurban ini adalah adopsi akan Hari Raya Idul Adha bagi umat muslim.
"Kami di sini juga tidak lagi menyembelih babi saat hari raya atau kalau ada upacara. Adanya di sini di Pura Langgar ini malah kurban seperti yang dilakukan umat muslim. Tapi untuk berkurban kami menggunakan kerbau," ujar dia.
Pura Langgar simbol keharmonisan dua agama
Menurut penelitian berjudul PURA LANGGAR SEBAGAI DAYA TARIK WISATA DAN WAHANA SOLIDARITAS ANTARAGAMA dari Ida Bagus Gde Pujaastawa dkk dari Universitas Udayana, merupakan simbol keharmonisan dua agama besar di Bali.
Berikut kutipannya:
Di samping sebagai tempat suci umat Hindu, khususnya bagi pihak keluarga besar Puri Agung Bunutin, tidak sedikit pula umat muslim yang mengetahui keberadaan Pura Langgar ini menyempatkan diri untuk berkunjung dan melakukan salat di tempat suci ini.
Dengan demikian, keberadaan Pura Langgar ini juga merupakan representasi relasi harmoni antara dua tradisi yang berbeda (Hindu dan Islam). Semangat kebersamaan dalam perbedaan juga tercermin dalam jenis sesajen yang dipersembahkan di pura ini.
Berbeda dengan persembahan sesajen di pura di Bali pada umumnya, sesajen yang dipersembahkan di Pura Langgar ini pantang menggunakan unsur-unsur yang mengandung babi. Fenomena ini mencerminkan semangat solidaritas dan toleransi umat Hindu terhadap keyakinan umat lain (Islam).
Setiap 210 hari sekali, tepatnya pada hari Wrespati Umanis Wuku Dungulan, di pura ini diselenggarakan upacara pujawali atau piodalan. Selain itu, setiap tahun sekali, sebulan menjelang hari Raya Nyepi, tepatnya pada hari Tilem Sasih Kawulu atau bulan mati pada bulan ke delapan menurut perhitungan kalender tradisional Bali (sekitar bulan Februari kalender Masehi) juga diselenggarakan ritual Titi Mamah.
Ritual Titi Mamah ini mengingatkan akan upacara Idul kurban, seekor godel bang atau anak sapi berbulu merah disembelih dan bagian kepala, kulit, dan bagian tertentu lainnya dikurbankan sebagai pakelem dengan melarungnya ke dasar kolam.
Sementara dagingnya dibagi-bagikan kepada warga. Sebelum disembelih, godel bang tersebut dituntun mengelilingi pura sebanyak tiga kali putaran. Ritual ini dihadiri oleh keluarga besar Puri Agung Bunutin serta warga masyarakat sekitarnya, termasuk pula umat muslim.
(msl/fem)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!