Jakarta Selatan mempunyai satu gang unik. Sebagian besar warganya adalah perajin tempe dan memproduksi keripik tempe, juga didominasi warga asal Pekalongan, Jawa Tengah.
Kawasan unik itu berada di Jalan Aom, RT 9 RW 8, Kramat Pela Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di RW tersebut memiliki 40 jenama keripik tempe berbeda. Pionirnya, keripik tempe Mama Tina, diikuti keripik tempe Pak Joko, Timoti, dan lain-lainnya.
Kawasan itu kini menjadi binaan BRI. Plang sentra perajin keripik tempe Kramat Pela di pintu masuk dengan warna biru dan tulisan BRI besar-besar Jalan Anom memudahkan traveler atau pembeli keripik tempe untuk menemukan area itu.
"Di sini ada 149 kepala keluarga (KK) dan 400 jiwa laki-laki dan perempuan. Sebanyak 40 (KK) adalah perajin keripik tempe," kata Joko Asori, 55, salah satu perajin tempe di kawasan itu.
Joko sih sebenarnya bukan perajin keripik tempe. Dia pembuat tempe. Istrinyalah, Kasmirah, 55, yang memproduksi keripik tempe dengan merk Keripik Tempe Pak Joko.
"Kami kolab hehehe. Saya yang bikin tempe, ibu yang bikin keripik tempe," ujar Joko.
Joko bilang selain menyuplai tempe untuk keripik tempe produksi istrinya, tempe bikinannya juga untuk menyuplai pembuat keripik tempe yang produksinya belum terlalu besar.
Sementara itu, keripik tempe bikinan Kasmirah laris sebagai penganan harian dan oleh-oleh. Keripik tempe itu dijual di stand BRI di Localoka, juga pelanggan di sejumlah kantor, juga dijual eceran.
Menjelang lebaran, pesanan biasanya meningkat tajam. Baik untuk penganan saat berbuka puasa, lebaran atau dijadikan oleh-oleh ke kampung halaman. Joko bahkan membawa keripik tempenya saat mudik ke Pekalongan.
"Kalau mudik enggak bikin, di kampung istirahat hahaha. Bawa saja dari sini sebagai oleh-oleh," kata Joko.
Di seberang rumahnya, yang cuma terpisah oleh satu jalan sempit, pas dilewati satu sepeda motor, tidak cukup untuk mobil, ada produsen tempe dan keripik tempe lainnya, keripik tempe Mama Tina. Dia perintisnya.
Keripik Tempe Mama Tina milik Martinah. Mereka masih saudara sepupu.
"Kami sama-sama dari Pekalongan. Di RT ini 98 persen warganya dari Pekalongan, hanya ada 2 rumah yang pemiliknya orang Betawi asli hehehe," kata Joko.
Makanya jangan heran andai memasuki area itu, traveler bakal mudah mendapati makanan khas Pekalongan. Di antaranya, nasi megono dan nasi uwet.
Sentra Pembuat Tempe Sejak 1960-an
Menurut Joko, kawasan itu merupakan sentra perajin tempe kedelai sejak 1962. Pionirnya Bachrun. Joko, yang berasal dari keluarga perajin tempe di Cengkareng, memilih belajar membuat tempe di bekas karyawan Bachrun di Kramat Pela.
Kawasan itu meneruskan tradisi tempe hingga kini. Barulah pada 2011, sebuah terobosan dibuat Martinah. Saat bersilaturahmi ke rumah saudaranya di Secang, Magelang, Jawa Tengah, Martinah diajak untuk bikin keripik tempe dengan bahan campuran sagu.
Setelah kembali ke Jakarta, dia mempraktikannya dan menyilakan warga lain melihat proses pembuatan keripik tempe di rumahnya.
"Dulu suami saya jualan tempe, motongnya masih pakai pisau. Lama-lama permintaan naik sampai 30 kg, barulah ada yang bantu, termasuk anak saya Budi. Pintar banget dia memotong tipis sekali," kata Martinah.
Kini, setelah 12 tahun, Martinah memiliki 21 karyawan. Setiap hari, dia memproduksi 1 kuintal keripik tempe. Produksi itu dipasarkan ke sejumlah retail, eceran, dan ekspor ke negara tetangga, Singapura, Thailand, dan UEA.
"Itu pun dibatasi, kalau tidak saya kewalahan," kata Martinah.
Martinah tidak hanya memproduksi keripik tempe di rumah. Dia membangun dapur khusus untuk produksi keripik tempe, mulai dari memotong tempe, menggoreng, dan mengemas.
Dapur-dapur keripik tempe itu tidak hanya satu di Kramat Pela itu.
Dapur dengan kompor gas besar dan wajan besar berjejer-jejer itu lumrah ditemui di kawasan itu. Juga, plastik silinder yang berisi kedelai tergantung di teras rumah atau tempe kotak berjejer di samping rumah menjadi pemandangan biasa di sana.
"Kalau mencari keripik tempe di Jaksel ya kami ini tempatnya," ujar Joko.
Traveler bisa melihat langsung dapur itu. Traveler juga bisa berbelanja keripik tempe secara langsung, membayar dengan uang tunai, transfer, atau membayar lewat QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Di rumah Martinah QRIS disediakan oleh BRI.
Andai tidak sempat datang, traveler bisa membeli lewat marketplace atau mengirim pesan kepada pedagang langsung.
"Kami akan arahkan sesuai merk yang dipilih oleh pembeli. Meskipun kami sama-sama produksinya keripik tempe, tetapi tidak ada yang memaksa pembeli untuk membeli keripik tempe bikinan sendiri. Rejekinya kan masing-masing," kata Joko yang juga menjadi ketua RT 9 itu.
Keripik tempa dengan jenama berbeda juga dijual dengan harga yang berbeda. Sebagai gambaran, keripik tempe Pak Joko dijual Rp 70 ribu per kg, sedangkan keripik tempe mama Tina dibanderol dengan harga Rp 75 kg dan bervariasi sesuai dengan rasa yang diinginkan.
Simak Video "Video Momen-momen Indonesia Menang Tipis 1-0 Lawan Filipina"
(fem/ddn)