Desa Penglipuran di Jalan Penglipuran, Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Bali tidak hanya populer dengan kebersihannya. Desa ini juga memiliki keunikan pada arsitektur bangunan.
Saat mengunjungi Desa Penglipuran, traveler bisa menemukan 72 rumah utama yang memiliki desain arsitektur yang seragam. Kesamaan itu muncul sejak dari pintu masuk atau angkul-angkul. Pintu masuk atau angkul-angkul terbuat dari batu bata dengan jerami di atasnya.
"Di sini ada suatu nilai yang terkandung dari bangunan yang ada, terutama pada pintu masuk atau yang kami sebut angkul-angkul. Leluhur kita meninggalkan suatu nilai kebersamaan yang terkandung di sani, termasuk juga dalam membangun desa ini," jelas Wayan Sumiarsa, ketua pengelola Desa Penglipuran, dalam perbincangan dengan detikTravel.
Namun, banyak yang belum mengetahui bahwa tak hanya memiliki kesamaan pada angkul-angkul, rumah-rumah di Desa Penglipuran juga seragam pada dapur tradisional dan bale saka enam.
"Kalau berkaitan dengan bangunan, ada tiga bangunan yang kita konservasi di sini. Pertama ada angkul-angkul, kedua dapur tradisional, dan bale saka 6. Tiga bangunan ini pasti semua ada dan letaknya sama pada setiap rumah," kata Wayan Sumiarsa.
Setiap bangunan tradisional yang seragam di Desa Penglipuran memiliki makna yang berbeda.
Pada setiap rumah di Desa Penglipuran akan memiliki dapur tradisional. Uniknya, di sini letak dapur berada di utara pintu masuk. "Di Bali itu umumnya dapur di selatan, kalau di sini di utara," kata Wayan Sumiarsa.
Terdapat dua nilai yang terkandung dari dapur tradisional di Desa Penglipuran. Pertama sebagai tempat kegiatan memasak warga desa. Kedua ada nilai spiritual dan religius. Jika di suatu pekarangan ada Jro Kebayan, jadi warg bermeditasi di dapur tradisional ini.
Bale saka enam, saka artinya pilar dan enam menunjukkan jumlah pilarnya. Umumnya, bale ini akan digunakan ketika ada upacara pernikahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di desa kami, pernikahan warga akan dianggap sah ketika upacara pernikahan dilakukan di bale saka enam," kata Wayan Sumiarsa.
Uniknya, bangunan tradisional yang ada di Desa Penglipuran bisa dibilang tahan gempa. Menurut Wayan Sumiarsa saat terjadi gempa tidak ada bangunan tradisional yang rusak. Bangunan betul-betul kokoh.
Dalam menjaga konsistensi warga Desa Penglipuran menjadi tiga bangunan yang dikonservasi, pengurus desa adat juga ikut turun tangan. Desa Adat Penglipuran memberikan subsidi ketika terjadi kerusakan pada ketiga bangunan yang dikonservasi.
"Yang dilakukan oleh desa adat adalah bagaimana cara agar warga desa tetap konsisten menjaga bangunan yang dikonservasi. Biayanya juga tidak sedikit, jadi warga diberikan subsidi. Jika tiga bangunan itu diperbaiki akan diberikan dana Rp 25 juta," kata Wayan Sumiarsa.
Pemberian dana subsidi ini tak lepas dari peran serta wisatawan. Untuk masuk ke Desa Penglipuran, traveler akan dikenakan biaya sebesar Rp 15 ribu untuk WNI anak dan Rp 25 ribu untuk WNI dewasa. Harga tiket masuk untuk WNA anak sebesar Rp 30 ribu dan dewasa sebesar Rp 50 ribu. Biaya tiket inilah yang nantinya akan digunakan untuk membantu warga dalam melakukan perbaikan pada bangunan tradisional di rumah mereka.
Bagi traveler yang berkunjung ke Desa Penglipuran, jangan lupa untuk menjelajahi setiap bangunan tradisional yang ada di sini ya. Semoga informasi ini bermanfaat dan semoga liburanmu menyenangkan!
(fem/fem)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Hutan Amazon Brasil Diserbu Rating Bintang 1 oleh Netizen Indonesia