Jejak penyebaran Islam di Jakarta Barat terekam melalui deretan masjid ini. Apa saja?
Bersama Sudin Parekraf Jakbar (30/3/24) detikTravel berkesempatan mengunjungi sejumlah masjid untuk menelusuri sejarah penyebaran agama islam di Jakbar.
1. Masjid Raya KH Hasyim Asy'ari
Banyak orang mengira bahwa Masjid Istiqlal merupakan masjid raya pertama di Jakarta, namun nyatanya Masjid Istiqlal merupakan milik negara. Adalah Masjid Raya KH Hasyim Asy'ari yang menjadi masjid raya pertama di Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masjid itu berada di Duri Kosambi, Kecamatan Cengkareng, Kota Jakarta Barat. Dibangun pada lahan seluar 2,4 hektar, masjid yang dibangun pada masa pemerintahan Ahok itu memiliki daya tampung hingga 12.500 jamaah.
Diresmikan pada 15 April 2017, Adhi Moersid selaku arsitek merancang masjid itu dengan nuansa budaya budaya Betawi yang kental, terlihat bangunan atap limas runcing tanpa kubah, ornamen gigi balang pada bangunan, dan pagar langkan juga menghiasi masjid ini.
Berada di lokasi yang luas membuat masjid ini juga kerap digunakan untuk berbagai kegiatan ekonomi dan menjadi salah satu tempat isolasi para pasien Covid pada masa pandemi.
2. Masjid Jami An-Nawier
Masjid ini menjadi bukti bahwa komunitas Arab pernah berjaya di Batavia. Meskipun berada di kawasan Pekojan, masjid itu tak hanya berarsitektur Arab, namun juga memiliki perpaduan gaya Timur Tengah, Tionghoa, Eropa, dan Jawa pada bangunannya.
Didirikan pada tahun 1760 Masehi, masjid itu mulanya memiliki luas 500 meter persegi. Kini, masjid itu diperluas hingga hampir 2000 meter persegi.
Menurut Ketua Pengurus Masjid Jami An-Nawier Ustaz Dikky di masjid itu juga masih menjaga tempat wudu yang orisinil berbentuk kolam dengan sebagai saksi sejarah umat muslim zaman dahulu.
"Ada juga tempat wudu yang menjadi satu saksi sejarah peninggalan yang sudah langka di berbagai wilayah," kata dia.
Tak hanya sebagai masjid, terdapat bangunan 400 meter persegi yang digunakan sebagai rumah wakaf untuk berdagang yang hasilnya digunakan untuk kesejahteraan masjid.
3. Masjid Langgar Tinggi
Masjid itu merupakan bangunan musala tua yang masih terlestarikan sebagai cagar budaya hingga saat ini. Populer dengan nama Langgar Tinggi karena memiliki 2 lantai yang dijadikan tempat untuk beribadah.
Masjid itu dibangun oleh Syekh Said bin Naum selaku Kapiten Arab pertama di Batavia pada tahun 1829. Masjid itu menjadi asal-usul kampung sekitarnya diberi nama Pekojan. Masjid itu lama-lama dikepung permukiman warga setelah didatangi oleh orang-orang India saat itu.
Bangunan masjid itu juga menyerap berbagai nilai kebudayaan dari berbagai suku dan etnis. Pilar-pilar pada masjid ini mencerminkan kebudayaan Eropa, penyangga bagian luar diserap dari kebudayaan China, dan penggunaan balok-balok rangka payung yang mencerminkan kebudayaan Jawa.
4. Masjid Jami Angke
Berada di Kampung Angke sebagai pusat transit para pedagang dan pendakwah dari mancanegara membuat bangunan masjid ini juga memiliki arsitektur yang unik.
Dibangun pada tahun 1761 Masehi, pada masa pemerintahan Pangeran Jayakarta II, itu menunjukkan perpaduan budaya Bali, Belanda, Maroko, China, dan Jawa. Itu menunjukkan filosofi masjid itu, yakni pada masa lampau hidup berdampingan berbagai suku dan etnis di Kampung Angke.
Muhammad Abyan, Ketua Sarpras dan Sejarah Masjid Jami Angke, mengatakan bahwa toleransi keberagaman yang ada di lingkungan sekitar masjid pun terlihat sangat erat hingga saat ini.
"Dari dulu sudah ditanamkan nilai kerukunan dan kesatuan, yang tionghoa tidak merasa minoritas kami yang muslim juga tidak merasa mayoritas," kata dia.
Pada bagian barat dan timur masjid terdapat beberapa makam tokoh-tokoh terkait sejarah Kampung Angke. Di antaranya, Syekh Jafar, Syekh Syarif Hamid Al-Qadri dari Kesultanan Pontianak.
5. Makam Pangeran Wijaya Kusuma
Makam ini menjadi cikal bakal terbentuknya nama Wijaya Kusuma sebagai salah satu nama kelurahan di Grogol, Jakarta Barat.
Pangeran Wijaya Kusuma adalah seorang penasehat sekaligus panglima perang pada masa kejayaan Pangeran Jayakarta. Pangeran Jayakarta berasal dari Banten dan sangat menentang Belanda pada abad ke-17.
Hingga kini makam Pangeran Wijaya Kusumarutin dikunjungi oleh para peziarah untuk melakukan tahlilan atau pengajian yang biasanya dilaksanakan pada malam Jumat.
(fem/fem)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol