Menggantung Nyawa di Selang Kompresor

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Hanindita Ratna Asti|314|NTB|21

Menggantung Nyawa di Selang Kompresor

Redaksi Detik Travel - detikTravel
Senin, 13 Jun 2011 09:59 WIB
loading...
Redaksi Detik Travel
Bang Sapar telah menyelam kompresor selama separuh usianya (YF)
Menggantung Nyawa di Selang Kompresor
Jakarta -

Pemandu lokal kami ketika berkunjung ke Pulau Moyo (8 Oktober 2010), Bang Sapar, merupakan nelayan panah yang menyelam menggunakan kompresor angin yang biasa digunakan untuk menambal ban. Bang Sapar kini berusia 28 tahun, dia sudah menjadi nelayan panah selam kompresor sejak berusia 14 tahun. Dalam satu malam dia dapat menyelam dua sampai tiga kali hingga kedalaman 30m selama dua sampai tiga jam. Bahkan menurut penuturannya, dia pernah mencapai kedalaman 50m. Yang lebih mencengangkannya lagi mereka, para penyelam kompresor, tidak pernah melakukan safety stop ketika descending (menuju ke kedalaman laut) maupun ketika ascending (menuju ke permukaan). Belum lagi jika ada warga yang mendemo kegiatan mereka, selang kompresor akan langsung ditarik dan kapal pun melaju pergi.

Safety stop diperlukan untuk memberi waktu kepada tubuh penyelam untuk beradaptasi dengan tekanan di bawah air. Jika safety stop tidak dilakukan, dapat menyebabkan pecahnya gendang telinga, kerusakan pada saluran sinusitis, decompression sickness (disebut penduduk lokal dengan kram) dan dapat pula berujung kematian. Untuk menghindari resiko diatas, satu-satunya tindakan prefentif yang dilakukan para penyelam kompresor ini adalah membuang air kecil di laut sebelum naik ke kapal. Saya pun tak mengerti kenapa. Salah seorang pemilik kapal yang kami temui pernah menyaksikan bahaya menyelam kompresor. Beliau pernah mendapati salah satu penyelamnya, yang tentu saja menggunakan kompresor, begitu naik ke kapal menggigil, badannya kaku (kram) dan tidak dapat buang air kecil selama dua hari hingga akhirnya mendarat dan dibawa ke dokter. Beliau juga tak jarang mendengar kabar penyelam-penyelam kompresor meninggal akibat kram.

Saya pun bertanya, mengapa masih menggunakan kompresor jika sudah menyaksikan bahaya yang diakibatkannya. Bang Sapar menjawab "Lebih baik kita pakai kompresor daripada pakai tabung. Karena kalau pakai tabung ada jamnya (persediaan udara terbatas). Bisa juga menggunakan jaring, tetapi jumalah ikan yang didapat sedikit dibanding menggunakan panah." Semua dilakukan demi mengumpulkan rupiah. Dalam satu kali melaut, Bang Sapar dapat membawa pulang dua sampai tiga juta rupiah. Sungguh iming-iming yang tidak sedikit. Tetapi, apalah arti tiga juga rupiah bila dapat berujung kematian?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sang pemilik kapal pun menuturkan, bahwa sebenarnya mulai awal tahun ini mereka mulai mendengar larangan tentang selam kompresor. Tetapi tidak ada solusi dari pemerintah, tak ada program edukasi maupun sosialisasi. Kita tidak dapat menyalahkan satu pihak. Pemerintah yang menerbitkan larangan seharusnya disertai dengan program sosialisasi dan edukasi bahaya selam kompresor, pelatihan scuba diving yang benar, atau pemberian tabung dan alat-alat selam yang memadahi. Sedangkan nelayan, seharusnya lebih proaktif dan mementingkan keselamatan kerja. Lebih baik mendapatkan sedikit hasil daripada kehilangan nyawa penyelam. Satu hal yang kami perhatikan di sini adalah para nelayan dan penyelam akan menyambut baik program edukasi. Karena mereka telah mengetahui bahaya bahkan melihat langsung akibat dari selam kompresor, mereka pun menunggu bantuan dan program edukasi dari pihak manapun.

Saya benar-benar berharap dapat berbuat lebih untuk para nelayan kompresor. Memang tidak bisa, hanya dilakukan dalam satu kali kunjungan. Harus dilakukan pendekatan dan edukasi berulang karena kegiatan ini telah berlangsung lama. Karena keterbatasan pengetahuan dan waktu pada saat itu, saya hanya dapat menyarankan mereka untuk selalu melakukan safety stop saat menuju kedalaman laut dan menuju ke permukaan. Dengan sedikit memberi penjelasan bahwa tubuh kita perlu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Mereka pun mengiyakan saran saya, hal ini mungkin karena melakukan safety stop tidak menambah biaya yang dikeluarkan.

Mendengarkan kisahnya saja sudah membuat kami merinding. Hati kecil saya berontak, haruskah bertaruh nyawa demi membawa pulang rupiah?

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads