Wae Rebo, Lebih Dari Sekadar Negeri di Atas Awan
Selasa, 26 Des 2017 15:35 WIB

Pradikta Kusuma
Jakarta - Ada di atas ketinggian 1.200 mdpl, Wae Rebo di NTT dijuluki Negeri di Atas Awan. Lebih dari itu, banyak pengalaman berharga yang bisa kamu dapatkan di sana.Diatas ke tinggian 1.200 mdpl menjadikan desa kecil ini terasa terpencil dan seakan menyatu dengan alam. Kabut sering kali turun menyelimuti desa karena memang desa ini berada di lembahan dari gunung gunung yang mengelilinginya. Suhu udara yang ada pun kebanyakan turun, namun di antara suhu yang dingin itu Waerebo menyimpan kehangatannya tersendiri. Bukan karena sinar matahari atau tungku tungku diatas api melainkan karena penduduk Wae Rebo itu sendiri. Senyuman dan keramah tamahan penduduk Waerebo yang menyambut kami membuat suasana hangat menguar."Saya Pak Alex, ketua adat penduduk Wae Rebo," dengan senyum lebar menyambut kedatangan kami sore itu.Setelah berkenalan dengan rombongan kami Pak Alex pun melakukan upacara penyambutan untuk kami para tamu. Upacara penyambutan yang diistilahkan oleh penduduk setempat adalah ritual Pa'u Wae Lu'u berguna untuk meminta izin dan perlindungan kepada roh leluhur terhadap tamu yang berkunjung, hingga meninggalkan kampung tersebut. Jadi sebelum ritual ini dilakukan pengunjung dilarang untuk melakukan aktivitas di areal Wae Rebo termasuk mengambil gambar.'Mbaru niang' berbentuk melingkar kerucut dengan atap rumbia atau daun lontar dibangun secara tradisional dan swadaya lokal. Rumah ini mempunyai tiang utama yang besar dan di tengah rumah terdapat perapian. Mbaru niang terdiri dari 5 tingkat yang semua ditutupi atap dan menjadi sebuah kerucut.Di tingkat pertama, lutur, atau tenda adalah tempat tinggal penghuninya. Di tingkat kedua, lobo, atau loteng ialah tempat menyimpan bahan makanan dan barang. Tingkat ketiga ialah lentar yang berfungsi menyimpan benih jagung dan tanaman untuk bercocok tanam lainnya. Tingkat keempat ialah lempa rae, yaitu tempat untuk menyimpan stok cadangan makanan yang akan sangat berguna saat panen dirasa kurang berhasil. Sedangkan tingkat kelima, hekang kode, yaitu tempat menyimpan sesajian untuk para leluhur. Hanya ada 7 rumah di Wae Rebo dan 1 rumah bisa di tinggali hingga 6 kepala keluarga."9 Tahun lalu Desa kami Waerebo baru dikunjungi oleh anak bangsa negeri sendiri, sebelumnya hanya orang luar yang datang kesini," begitulah penuturan dari Pak Rolasius salah satu penduduk Waerebo.Kedatangan tamu pertama dari dalam negeri itu yang kini menyelamatkan Desa Wae Rebo. Karena sebelum itu Wae Rebo terancam kehilangan Mbaru Niang yang menjadi identitas, karena mengalami kerusakan dimakan zaman.Melihat kondisi Wae Rebo yang sudah sekarat, pengunjung bernama Yori Antar dengan Yayasan Rumah Asuh yang dimilikinya berupaya untuk mengembalikan keadaannya kembali sehat. Bantuan dari swasta dan pemerintah serta beberapa donatur mulai mengalir, mereka tergerak untuk menyelamatkan Wae Rebo. Tahun 2010, dua rumah kerucut yang sudah sekarat direnovasi. Selanjutnya tahun 2011 tiga rumah kerucut yang sebelumnya hilang dibangun kembali. Akhirnya Wae Rebo memiliki tujuh rumah kerucut lagi seperti sedia kala. Tahun berikutnya dua rumah lagi direnovasi, sehingga sekarang ketujuh rumah ini dalam kondisi yang baik.Dan kini semakin datangnya para wisatawan adalah penyelamat dari Desa Wae Rebo itu sendiri. Wae Rebo terus berbenah dalam menerima tamu. Untuk menata administrasi pariwisata mereka membentuk Lembaga Pariwisata Wae Rebo (LPW). Dari lembaga ini ditentukan tarif untuk bermalam di Wae Rebo sebesar Rp 250 ribu sudah termasuk 3 kali makan. Jika tidak menginap pengunjung membayar retribusi Rp 100 ribu. Sebagian orang menganggapnya terlalu mahal untuk membayar sebesar itu. Tapi saya rasa uang sebesar itu cukup wajar mengingat bahan makanan yang kita lahap saat di sana harus diambil dari desa di bawah yang jaraknya sekitar 9 km lebih. Mereka harus memikul beras dan kebutuhan pokok lain mendaki gunung untuk sampai kembali di Wae Rebo.Dan yang aku suka dari Wae Rebo adalah mereka tetap senantiasa menjaga adat istiadat yang mereka punyai. Mulai dari awal kita datang untuk melakukan upacara penyambutan, larangan larangan yang tetap terjaga, hingga mata pencaharian mereka sebagai petani kopi dan pengrajin kain songke pun seakan tak terpengaruh dengan wisatawan yang lebih menawarkan peradaban. Semuanya berjalan seperti biasa dan sewajarnya saja.Aku sempat termenung lama disebuah pelataran Mbaru Niang. Berimajinasi tinggi, ditemani matahari yang sudah mulai meninggi. Aku berharap semua ini yang ada disini kedepan tetap akan lestari. Karena dikesederhaan Wae Rebo aku melihat banyak kebahagian dan kehangatan. Kisah kisah panjang di sini seakan mengantri untuk aku ceritakan kepada kalian kawan. Dan terakhir, coba langkahkan kaki ke sini dan rasakan kehangatan Wae Rebo.
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol