Petualangan Tanpa Teknologi di Desa Adat Badui

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Petualangan Tanpa Teknologi di Desa Adat Badui

Maya Septhiana - detikTravel
Selasa, 08 Mei 2018 10:29 WIB
loading...
Maya Septhiana
Desa suku Badui yang asri dan damai
Trek pulang dari desa suku Badui
Rombongan ibu-ibu yang membawa hasil hutan untuk dijual
Jembatan Akar yang menjadi ikon tempat ini
Penduduk asli Badui yang kami temui sepanjang perjalanan
Petualangan Tanpa Teknologi di Desa Adat Badui
Petualangan Tanpa Teknologi di Desa Adat Badui
Petualangan Tanpa Teknologi di Desa Adat Badui
Petualangan Tanpa Teknologi di Desa Adat Badui
Petualangan Tanpa Teknologi di Desa Adat Badui
Jakarta - Liburan memang paling asyik kalau diisi dengan hal baru. Wisata Suku Badui bisa menjadi pilihannya. Kamu akan diajak untuk kenal Badui dan prinsip hidupnya.Badui adalah suku yang bermukim di kaki pegunungan Kendeng, desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten. Suku ini menutup diri dari perkembangan zaman dan mengisolasi diri dari lingkungan sekitar. Sampai sekarang, masyarakat Kanekes ketat mengikuti adat istiadat setempat.Untuk menuju desa adat ini, saya memulai perjalanan dari stasiun tanah abang, naik kereta jurusan Tanah abang-Rangkasbitung selama 2 jam. Lalu, dilanjutkan menaikin elf yang dapat disewa dari stasiun Rangkasbitung. Selama menaiki elf perjalanan yang dilewati akan berkelok-kelok karena struktur lokasi yang memang berbukit-bukit. Elf tersebut mengantarkan saya dan rombongan ke desa Ciboleger, salah satu desa terdekat yang berada disekitar Badui. Sampai di desa Ciboleger kami disambut oleh patung selamat datang yang menyerupai petani.Dari desa Ciboleger ini kita harus berjalan kaki menuju Badui Dalam. Jaraknya bervariasi tergantung rute yang dilewati, waktu itu saya dan rombongan melewati rute Gajeboh dengan panjang perjalanan sekitar 11 km. Untuk waktu tempuh sendiri sekitar 3-6 jam, akan berbeda-beda tergantung kecepatan berjalan dan kekuatan fisik seseorang. Jauh, memang, lama, memang, tapi semua akan terbayar dengan pengalaman yang didapat ketika traveler berhasil sampai di Badui Dalam.Saya akan jelaskan sedikit, suku Badui ini terbagi 2 yaitu Badui Luar dan Badui Dalam. Bedanya Badui Luar sudah mulai menerima perkembangan teknologi sedikit demi sedikit sedangkan Badui Dalam masih memegang teguh adat istiadat yang ada. Badui Luar ini berada tersebar mengelilingi Badui Dalam. Dari segi pakaian juga berbeda, Badui Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna biru gelap atau hitam sedangkan Badui Dalam mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna putih alami. Di Badui Dalam terdapat tiga desa utama yaitu Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo, dan yang akan saya kunjungi kali ini adalah desa Cibeo. Untuk Badui Luar sendiri desa-nya antara lain Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya.Lanjut ke trekking, dari desa Ciboleger kami didampingi oleh sekolompok orang dari desa Cibeo, desa yang akan kami kunjungi. Mereka juga menawarkan jasa porter bagi yang merasa tidak kuat membawa beban tas sepanjang perjalanan. Kalau saya memilih untuk tidak menggunakan jasa porter karena saya hanya membawa tas kecil dengan peralatan seperlunya. Ada juga dijual tongkat kayu sederhana untuk membantu perjalanan, harga yang ditawarkan sekitar 3000 rupiah saja kok. Perjalanan pun dimulai, sepanjang perjalanan kami banyak mengobrol dengan masyarakat asli Badui, mengetahui keseharian mereka, adat istiadat yang masih dijaga, dan banyak hal lain yang membuat saya tak henti-hentinya bersyukur atas hidup saya selama ini. Saya masih bisa bersekolah, dekat dengan perkembangan teknologi dan hidup yang serba mudah. Mereka di Badui tidak diperkenankan sekolah, kalaupun bisa baca tulis mereka mempelajarinya sendiri atau belajar dari teman atau saudara yang bisa. Mereka juga harus menempuh perjalanan kemana-mana dengan berjalan kaki, karena mereka tidak diizinkan menggunakan alat transportasi. Jangankan itu, penggunaan sabun, sampo, pasta gigi saja tidak diperbolehkan di Badui Dalam. Bahkan, toilet pun tidak ada, untuk keperluan MCK mereka mengandalkan sungai Kendeng yang mengaliri desa. Sungai yang sama digunakan untuk memasak. Tak perlu kaget, tapi begitulah mereka hidup, saat kesana kalian akan tahu bagaimana mereka menggunakan air sungai tanpa mencemarinya.Trekking yang saya dan rombongan lalui makin lama terasa semakin sulit, nafas mulai putus-putus, apalagi jika treknya menanjak rasanya sudah ingin menyerah saya, semangat 45 diawal mulai kendur, namun saya tidak putus asa. Naik turun melewati lembah kami lalui, entah berapa perkampungan kami lewati, 4 jembatan kami sebrangi untuk menuju Badui Dalam. Perjalanan yang berat memang, apalagi bagi saya anak kota yang jarang berolahraga ini, tapi melihat pemandangan disekililing sungguh menghibur, pepohongan yang rindang, perbukitan yang cantik, ah membuat saya sejenak lupa akan letih. Jembatan keempat adalah perbatasan antara Badui Luar dan Badui Dalam, dan begitu memasuki Badui Dalam kami dilarang untuk berfoto. Konon, jika melanggar aturan ada akibat yang akan dirasakan. Alangkah baiknya memang kita menghargai setiap tempat yang kita kunjungi. Padahal di Badui Dalam lebih indah dibandingkan dengan Badui Luar. Pepohonan di Badui Dalam lebih rindang, lebih bersih, dan yang pasti nuansa yang terasa begitu berbeda, suasana mistis, hening dan damai begitu terasa. Keramahan masyarakatnya juga membuat saya betah berlama-lama di desa ini.Malam itu, saya menginap di rumah salah satu warga, ibu dan anak-anaknya yang begitu baik dan ramah, kami disajikan makanan seadanya yang sungguh nikmat setelah menempuh perjalanan panjang. Sepanjang malam kami berbincang-bincang dengan warga sekitar, menjadikan suasana akrab begitu terasa diantara kami semua, apalagi tidak ada gadget yang mengganggu selain karena dilarang, sinyal pun sulit didapat didaerah ini. Keesokan pagi kami berjalan-jalan mengitari desa, desa kecil dengan sekitar 20 rumah yang begitu asri. Puas mengetahui tentang suku Badui, kami pun bersiap untuk trekking pulang, kali ini kami melewati rute yang berbeda, yaitu lewat Jembatan Akar, jembatan yang menjadi ikon dari tempat ini. Rutenya ya tidak jauh berbeda dari yang rute saat berangkat, hanya kali ini tempat yang dilewati lebih rindang, jalanannya lebih kecil dan licin, dan sampingnya jurang, kewaspadaan dan kehati-hatian sungguh diperlukan di perjalanan ini.2 hari perjalanan ke Badui memberikan banyak pelajaran bagi saya mulai dari mencintai dan menghargai alam, menoleh kesederhanaan hidup, semangat yang harus terus berpijar dan banyak hal yang rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata tapi memberi arti di hati dan meninggalkan kenangan yang begitu berarti.
Hide Ads