Mengenal 5 Suku Dayak di Kinabalu, Malaysia

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Laporan dari Malaysia

Mengenal 5 Suku Dayak di Kinabalu, Malaysia

- detikTravel
Rabu, 22 Apr 2015 17:15 WIB
Mengenal 5 Suku Dayak di Kinabalu, Malaysia
(Silvia/detikTravel)
Kinabalu -
Di kawasan Borneo yang masuk wilayah Malaysia, terdapat pula beberapa etnis Dayak seperti halnya di Kalimantan. Wisatawan bisa datang ke desa mereka dan melihat kebudayaan mereka dari dekat yang mirip dengan di Kalimantan.

Mari-mari adalah desa buatan yang berada di Kobuni, Distrik Inanam, dioperasikan sejak 2008 dengan sistem self-funding. Di sini dibangun miniatur desa masyarakat asli Sabah mengikuti bentuk aslinya, termasuk bentuk rumah, posisi kamar, pintu, dan dapur.

Sabah memiliki lebih dari 30 kelompok masyarakat asli Dayak. Lima etnis terbesar adalah Kadazan-Dusun (gabungan Kadazan dan Dusun), Lundayeh, Bajau, dan Murut. Dengan alam berkontur dan berada di tepi sungai, wisatawan akan diajak merasakan bagaimana kehidupan asli Borneo dahulu hingga masa kolonial Inggris.

detikTravel atas undangan AirAsia Indonesia bersama Sabah Tourism Board, berkunjung ke Mari-mari Cultural Village pekan lalu. Benedict Pulian sang pemandu, selama dua jam mengajak kami mengunjungi rumah demi rumah, melihat praktik pembuatan makanan dan minuman khas tiap sukuβ€”sekaligus mencicipi hasilnya, juga merasakan sambutan yang menegangkan dari suku pemburu kepala.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tur diadakan tiga kali setiap hari, yakni pukul 10.00 ditutup dengan makan siang, pukul 14.00 ditutup dengan minum teh, dan pukul 18.00 ditutup dengan makan malam. Harga tiket masuk untuk wisatawan luar Malaysia adalah RM 85 (Rp 303 ribu). Yuk berkenalan dengan mereka:

1. Dusun: Suku petani, pemburu dan nelayan

(Silvia/detikTravel)
Masyarakat Dusun dahulu berprofesi sebagai petani, pemburu, dan nelayan sungai. Rumah suku Dusun terbuat dari bambu dan kayu akasia. Namun tiang utamanya dari kayu belian, jenis kayu keras yang tumbuh di Kepulauan Borneo. Biasanya, satu rumah orang Dusun dihuni tiga generasi, yakni datuk (kakek)-nenek, ibu-bapak, dan anak-anak.

Datuk-nenek punya kamar sendiri, juga ibu-bapak. Anak-anak lelaki tidur di luar kamar untuk menjaga rumah di waktu malam. Anak-anak perempuan di linimpun (satu kamar di atas, seperti mezzanine). Bila seluruh anak perempuan sudah di atas, mereka akan menarik tangga ke atas dan menyimpannya di linimpun, sehingga tak ada orang lain yang bisa masuk ke linimpun.

Di luar rumah berdiri tangkob yang berfungsi sebagai gudang penyimpanan beras usai musim panen. Bentuknya silinder dengan diameter 1,5 meter, terbuat dari kulit kayu timbagan (keluarga nangka) yang bisa mengembang terkena air, dan dibangun di semacam rumah panggung mini. Tiap keluarga Dusun punya minimal satu tangkob. Semakin banyak jumlah tangkob, menandakan semakin kaya pemilik rumah tersebut.

Menurut kebiasaan, di atas tangkob digantung juga beberapa tengkorak yang berfungsi sebagai penjaga. Jika ada yang berusaha mencuri beras, si pencuri tak akan bisa bergerak, terpaku di tempatnya, hingga si pemilik rumah datang dan memenggal kepala si pencuri. Masyarakat yang tinggal di desa dan di pedalaman saat ini masih menyimpan beras di tangkob, walau jumlahnya tak banyak lagi.

Masyarakat Dusun terkenal dengan kemampuan mereka membuat lihing (arak tapai) berbahan nasi ketan dan ragi yang diperam dalam tajau (tempayan) tertutup selama sebulan. Setelah sebulan, nasi yang sudah diperam itu diperas, didapatlah air tapai yang rasanya manis. Kadar alkoholnya 5-7 persen.

Selain untuk diminum, lihing juga jadi campuran sup ayam, khususnya bagi perempuan usai melahirkan, berfungsi melancarkan peredaran darah dan memulihkan tenaga si ibu. Lihing dipercaya hanya berhasil jika dibuat perempuan.

Nasi yang diperas tadi kemudian dimasak lagi untuk mendapat saripatinya, yakni uapnya, yang dikumpulkan untuk dijadikan montoko/ wiski borneo. Agar uapnya banyak, di atas tempayan pemasak diletakkan batok kelapa berisi air dingin. Jika air dalam batok kelapa mulai panas, diganti lagi dengan air dingin.

Setelah uap yang terkumpul didiamkan selama 30-60 menit, montoko-pun siap diminum untuk upacara-upacara penting, seperti pesta panen dan pernikahan. Kadar alkohol montoko 60-70 persen.

"Sekarang montoko sudah komersial, sudah dijual bebas. Setiap hari ada saja yang minum. Ukuran 1 liter seharga RM 5-6 (Rp 18-22 ribu). Tinggal belanja RM 20 (Rp 71 ribu) sudah mabuk," ujar Ben.

2. Rungus: Suku peternak madu dan pembuat gong

(Silvia/detikTravel)
Suku Rungus masih satu rumpun dengan Dusun, tersebar di di utara Sabah, yakni di Kudat, Kotamarudu, Pitas, dan sebagian di Paitan. Suku Rungus dikenal dengan kepandaian membuat gong dan beternak madu lebah dari jenis pampadan/madu kelulut (meliponini).

Medianya cuma seruas bambu besar yang dilubangi kecil di ujung salah satu ruas, lalu bagian luar lubang dilumuri madu untuk menarik lebah. Setelah bambu dibiarkan selama tiga bulan, madu siap dipanen. Ampasnya digunakan sebagai lilin dan lem alat musik sompoton (dari bambu dan labu kering).

Suku Rungus tinggal di Rumah Panjang yang lantainya dari kayu pinang, dinding dari kulit kayu timbagan, dan atap dari daun nipah. Satu bilik Rumah Panjang dihuni satu keluarga. Rumah Rungus di daerah Kudat bisa dihuni lebih dari 20 keluarga, artinya ada 20 bilik.

"Bapak saya dari Rungus. Beliau bercerita, tahun 1950-an dan 1960-an, ukuran Rumah Panjang panjang sekali, bisa menampung 50-80 keluarga," kata Ben.

Semakin modern, keluarga cenderung tinggal sendiri atau berpindah ke kota, sehingga rumah semakin pendek. Begitu satu bilik ditinggalkan, bilik itu akan dihancurkan, karena menurut kepercayaan Rungus, bilik kosong akan dihuni roh-roh jahat.

Rumah Panjang punya tiga pintu yang menghadap kanan, kiri, dan depan. Pintu depan (ada di tengah rumah) hanya untuk membawa keluar mayat. Sebabnya jika mayat dibawa melewati pintu kanan atau kiri, diyakini akan segera terjadi malapetaka bahkan kematian dalam waktu dekat.

Untuk menggunakan pintu kanan atau kiri karena ada masalah dengan pintu tengah, keluarga jenazah harus membayar sogit, yakni denda berupa ayam, kambing, atau babi kepada keluarga-keluarga yang dilewati dengan jumlah yang ditentukan keluarga tersebut.

3. Lundayeh: Suku pemburu kepala

(Silvia/detikTravel)
Suku Lundayeh adalah suku minoritas dibanding suku-suku asli lainnya, hanya ditemui di Sipitang dan Lawas (antara Sabah dan Sarawak). Berasal dari Kalimantan, Indonesia, sebagai salah satu subetnik Dayak, kaum ini tersebar di Kalimantan, Sabah, Sarawak, dan Brunei. Mereka adalah kaum pemburu kepala (head hunter).

Rumah Lundayeh hanya punya satu bilik, yakni untuk ibu-bapak. Anak laki-laki tidur di luar kamar. Anak perempuan di atas, seperti kaum Dusun, tapi tangganya disimpan ayah mereka.

Kekhasan rumah kaum Lundayeh adalah ada bagian atap yang bisa dinaikkan dan disangga kayu, sehingga angin lebih banyak masuk. Jika malam tiba, atap diturunkan lagi.

Di halaman rumah terdapat pulung buaye (buaya tanah), yakni bukit kecil dari tanah yang dibentuk seperti buaya. Di punggungnya ditancapkan bilah-bilah bambu dari kepala hingga ujung ekor.

Pulung buaye dibuat untuk merayakan kepulangan pahlawan mereka dari peperangan. Kepala-kepala musuh yang berhasil ditebas, ditancapkan di bilah bambu, untuk dikeringkan selama beberapa bulan. Para pahlawan menari di sekeliling tubuh buaya, dan kepala pahlawan akan menaiki tubuh buaya, menebas kepala buaya sebagai simbol kemenangan.

Para pemburu kepala sekarang sudah tak ada lagi, tapi buaya tetap dibuat untuk perayaan perkawinan atau pesta Lundayeh yang didatangi seluruh kaum Lundayeh di penjuru Borneo.

4. Bajau: Suku petualang laut

(Silvia/detikTravel)
Ada dua tipe Bajau, yakni Bajau Laut dan Bajau Darat. Rumah di Mari-Mari adalah rumah Bajau Darat. Bajau Laut tinggal di atas perahu sehingga bisa ke sana kemari.

Rumah Bajau cenderung berwarna-warni dibanding suku-suku lainnya. Lantai rumahnya dari kayu pinang, dinding dan atap dari daun nipah, sedangkan rangkanya dari kayu bakau.

Suku Bajau berasal dari Filipina yang mendarat di Sabah 500 tahun lalu. Pekerjaan sebagai pedagang membuat Suku Bajau berkenalan dengan lebih banyak kelompok masyarakat lain. Karena itu rumahnya lebih berwarna, demikian pula barang-barang yang ada di dalam rumah suku Bajau.

Rumah Bajau asalnya tanpa kamar walau terdiri dari keluarga yang besar. Anak laki-laki bisa tidur di mana saja, anak perempuan di bilik atas, sedangkan ruang tidur bapak-ibu dibatasi kelambu. Kaum ini adalah kaum pertama yang memeluk Islam, itu sebabnya ada ruang salat di rumah Bajau.

5. Murut: Suku pemain trampolin

(Silvia/detikTravel)
Rumah suku Murut juga Rumah Panjang yang dihuni satu keluarga besar. Lantainya dari bambu, dinding dari kulit kayu timbagan, dan atap dari daun nipah.

Kekhasan rumah Murut adalah adanya belantaran (trampolin tradisional) di tengah rumah, dibuat dari kayu pohon jambu yang elastis dan tak mudah patah, dilapisi rotan melingkar-lingar. Belantaran yang berukuranΒ  sekitar 5x5 meter berada satu meter lebih rendah dari lantai rumah.

Cara bermainnya adalah beberapa pemuda berdiri di tepi belantaran dan satu pemuda di tengah. Bersama mereka melompat-lompat kecil dan perlahan, makin lama makin cepat, makin cepat, hingga dirasa tepat bagi pemuda di tengah untuk melontarkan tubuhnya hingga whuuupp! Merek melenting tinggi nyaris mencapai atap.

Awalnya permainan ini untuk menyambut pahlawan yang pulang perang. Ada hadiah yang digantung tepat di atas belantaran. Semakin tinggi nilai hadiah, akan semakin tinggi digantungnya.
Halaman 2 dari 6
Masyarakat Dusun dahulu berprofesi sebagai petani, pemburu, dan nelayan sungai. Rumah suku Dusun terbuat dari bambu dan kayu akasia. Namun tiang utamanya dari kayu belian, jenis kayu keras yang tumbuh di Kepulauan Borneo. Biasanya, satu rumah orang Dusun dihuni tiga generasi, yakni datuk (kakek)-nenek, ibu-bapak, dan anak-anak.

Datuk-nenek punya kamar sendiri, juga ibu-bapak. Anak-anak lelaki tidur di luar kamar untuk menjaga rumah di waktu malam. Anak-anak perempuan di linimpun (satu kamar di atas, seperti mezzanine). Bila seluruh anak perempuan sudah di atas, mereka akan menarik tangga ke atas dan menyimpannya di linimpun, sehingga tak ada orang lain yang bisa masuk ke linimpun.

Di luar rumah berdiri tangkob yang berfungsi sebagai gudang penyimpanan beras usai musim panen. Bentuknya silinder dengan diameter 1,5 meter, terbuat dari kulit kayu timbagan (keluarga nangka) yang bisa mengembang terkena air, dan dibangun di semacam rumah panggung mini. Tiap keluarga Dusun punya minimal satu tangkob. Semakin banyak jumlah tangkob, menandakan semakin kaya pemilik rumah tersebut.

Menurut kebiasaan, di atas tangkob digantung juga beberapa tengkorak yang berfungsi sebagai penjaga. Jika ada yang berusaha mencuri beras, si pencuri tak akan bisa bergerak, terpaku di tempatnya, hingga si pemilik rumah datang dan memenggal kepala si pencuri. Masyarakat yang tinggal di desa dan di pedalaman saat ini masih menyimpan beras di tangkob, walau jumlahnya tak banyak lagi.

Masyarakat Dusun terkenal dengan kemampuan mereka membuat lihing (arak tapai) berbahan nasi ketan dan ragi yang diperam dalam tajau (tempayan) tertutup selama sebulan. Setelah sebulan, nasi yang sudah diperam itu diperas, didapatlah air tapai yang rasanya manis. Kadar alkoholnya 5-7 persen.

Selain untuk diminum, lihing juga jadi campuran sup ayam, khususnya bagi perempuan usai melahirkan, berfungsi melancarkan peredaran darah dan memulihkan tenaga si ibu. Lihing dipercaya hanya berhasil jika dibuat perempuan.

Nasi yang diperas tadi kemudian dimasak lagi untuk mendapat saripatinya, yakni uapnya, yang dikumpulkan untuk dijadikan montoko/ wiski borneo. Agar uapnya banyak, di atas tempayan pemasak diletakkan batok kelapa berisi air dingin. Jika air dalam batok kelapa mulai panas, diganti lagi dengan air dingin.

Setelah uap yang terkumpul didiamkan selama 30-60 menit, montoko-pun siap diminum untuk upacara-upacara penting, seperti pesta panen dan pernikahan. Kadar alkohol montoko 60-70 persen.

"Sekarang montoko sudah komersial, sudah dijual bebas. Setiap hari ada saja yang minum. Ukuran 1 liter seharga RM 5-6 (Rp 18-22 ribu). Tinggal belanja RM 20 (Rp 71 ribu) sudah mabuk," ujar Ben.

Suku Rungus masih satu rumpun dengan Dusun, tersebar di di utara Sabah, yakni di Kudat, Kotamarudu, Pitas, dan sebagian di Paitan. Suku Rungus dikenal dengan kepandaian membuat gong dan beternak madu lebah dari jenis pampadan/madu kelulut (meliponini).

Medianya cuma seruas bambu besar yang dilubangi kecil di ujung salah satu ruas, lalu bagian luar lubang dilumuri madu untuk menarik lebah. Setelah bambu dibiarkan selama tiga bulan, madu siap dipanen. Ampasnya digunakan sebagai lilin dan lem alat musik sompoton (dari bambu dan labu kering).

Suku Rungus tinggal di Rumah Panjang yang lantainya dari kayu pinang, dinding dari kulit kayu timbagan, dan atap dari daun nipah. Satu bilik Rumah Panjang dihuni satu keluarga. Rumah Rungus di daerah Kudat bisa dihuni lebih dari 20 keluarga, artinya ada 20 bilik.

"Bapak saya dari Rungus. Beliau bercerita, tahun 1950-an dan 1960-an, ukuran Rumah Panjang panjang sekali, bisa menampung 50-80 keluarga," kata Ben.

Semakin modern, keluarga cenderung tinggal sendiri atau berpindah ke kota, sehingga rumah semakin pendek. Begitu satu bilik ditinggalkan, bilik itu akan dihancurkan, karena menurut kepercayaan Rungus, bilik kosong akan dihuni roh-roh jahat.

Rumah Panjang punya tiga pintu yang menghadap kanan, kiri, dan depan. Pintu depan (ada di tengah rumah) hanya untuk membawa keluar mayat. Sebabnya jika mayat dibawa melewati pintu kanan atau kiri, diyakini akan segera terjadi malapetaka bahkan kematian dalam waktu dekat.

Untuk menggunakan pintu kanan atau kiri karena ada masalah dengan pintu tengah, keluarga jenazah harus membayar sogit, yakni denda berupa ayam, kambing, atau babi kepada keluarga-keluarga yang dilewati dengan jumlah yang ditentukan keluarga tersebut.

Suku Lundayeh adalah suku minoritas dibanding suku-suku asli lainnya, hanya ditemui di Sipitang dan Lawas (antara Sabah dan Sarawak). Berasal dari Kalimantan, Indonesia, sebagai salah satu subetnik Dayak, kaum ini tersebar di Kalimantan, Sabah, Sarawak, dan Brunei. Mereka adalah kaum pemburu kepala (head hunter).

Rumah Lundayeh hanya punya satu bilik, yakni untuk ibu-bapak. Anak laki-laki tidur di luar kamar. Anak perempuan di atas, seperti kaum Dusun, tapi tangganya disimpan ayah mereka.

Kekhasan rumah kaum Lundayeh adalah ada bagian atap yang bisa dinaikkan dan disangga kayu, sehingga angin lebih banyak masuk. Jika malam tiba, atap diturunkan lagi.

Di halaman rumah terdapat pulung buaye (buaya tanah), yakni bukit kecil dari tanah yang dibentuk seperti buaya. Di punggungnya ditancapkan bilah-bilah bambu dari kepala hingga ujung ekor.

Pulung buaye dibuat untuk merayakan kepulangan pahlawan mereka dari peperangan. Kepala-kepala musuh yang berhasil ditebas, ditancapkan di bilah bambu, untuk dikeringkan selama beberapa bulan. Para pahlawan menari di sekeliling tubuh buaya, dan kepala pahlawan akan menaiki tubuh buaya, menebas kepala buaya sebagai simbol kemenangan.

Para pemburu kepala sekarang sudah tak ada lagi, tapi buaya tetap dibuat untuk perayaan perkawinan atau pesta Lundayeh yang didatangi seluruh kaum Lundayeh di penjuru Borneo.

Ada dua tipe Bajau, yakni Bajau Laut dan Bajau Darat. Rumah di Mari-Mari adalah rumah Bajau Darat. Bajau Laut tinggal di atas perahu sehingga bisa ke sana kemari.

Rumah Bajau cenderung berwarna-warni dibanding suku-suku lainnya. Lantai rumahnya dari kayu pinang, dinding dan atap dari daun nipah, sedangkan rangkanya dari kayu bakau.

Suku Bajau berasal dari Filipina yang mendarat di Sabah 500 tahun lalu. Pekerjaan sebagai pedagang membuat Suku Bajau berkenalan dengan lebih banyak kelompok masyarakat lain. Karena itu rumahnya lebih berwarna, demikian pula barang-barang yang ada di dalam rumah suku Bajau.

Rumah Bajau asalnya tanpa kamar walau terdiri dari keluarga yang besar. Anak laki-laki bisa tidur di mana saja, anak perempuan di bilik atas, sedangkan ruang tidur bapak-ibu dibatasi kelambu. Kaum ini adalah kaum pertama yang memeluk Islam, itu sebabnya ada ruang salat di rumah Bajau.

Rumah suku Murut juga Rumah Panjang yang dihuni satu keluarga besar. Lantainya dari bambu, dinding dari kulit kayu timbagan, dan atap dari daun nipah.

Kekhasan rumah Murut adalah adanya belantaran (trampolin tradisional) di tengah rumah, dibuat dari kayu pohon jambu yang elastis dan tak mudah patah, dilapisi rotan melingkar-lingar. Belantaran yang berukuranΒ  sekitar 5x5 meter berada satu meter lebih rendah dari lantai rumah.

Cara bermainnya adalah beberapa pemuda berdiri di tepi belantaran dan satu pemuda di tengah. Bersama mereka melompat-lompat kecil dan perlahan, makin lama makin cepat, makin cepat, hingga dirasa tepat bagi pemuda di tengah untuk melontarkan tubuhnya hingga whuuupp! Merek melenting tinggi nyaris mencapai atap.

Awalnya permainan ini untuk menyambut pahlawan yang pulang perang. Ada hadiah yang digantung tepat di atas belantaran. Semakin tinggi nilai hadiah, akan semakin tinggi digantungnya.

(fay/fay)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads