Seperti Ini Perayaan Rasa Syukur Orang Jepang

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Seperti Ini Perayaan Rasa Syukur Orang Jepang

Putu Intan Raka - detikTravel
Selasa, 10 Des 2019 19:15 WIB
Foto: (AP)
Tokyo - Sebagai negara maju yang tak lupa akan tradisi budaya, Jepang kembali merayakan festival Shinto. Inilah perayaan rasa syukur dan suka cita.

Musim dingin di Jepang tak mengurangi kemeriahan festival malam itu. Kembang api menyala terang, lentera-lentara terbang menutupi bukit dan pusat kota diiringi tangisan orang-orang yang berteriak "washoi, washoi". Malam itu menjadi puncak Festival Shinto yang telah berevolusi dari ucapan syukur atas hasil panen menjadi pertemuan setahun sekali antara dua dewa lokal.

Festival Shinto yang disebut sebagai Chichibu Night Festival telah berusia lebih dari 1000 tahun. Festival ini merupakan salah satu dari tiga festival paling terkenal di Jepang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ikon dari Festival Shinto adalah pelampung besar yang ditarik keliling kota. Pelampung yang tingginya mencapai 7 meter dengan berat hingga 15 ton itu ditarik menggunakan roda kayu besar oleh ratusan penduduk berpakaian tradisional. Mereka mengenakan ikat kepala, legging hitam, dan jaket katun tebal yang berhias karakter Jepang. Arak-arakan itu semakin meriah dengan tabuhan drum, tiupan peluit, dan nyanyian yang meriah.

Seperti Ini Perayaan Rasa Syukur Orang JepangFoto: (AP)


Dilansir dari Associated Press, Selasa (10/12/2019), Shinto merupakan kepercayaan asli Jepang yang telah berusia ratusan tahun. Kepercayaan animisme ini mengakui adanya ribuan 'kami' atau roh yang menghuni alam, seperti hutan, sungai, dan gunung atau arwah nenek moyang. Para penganutnya didorong untuk hidup dalam harmoni dengan roh yang dipercaya bisa membantu mereka.

Menurut imam kepala Kuil Chicibu, Minoru Sonoda, festival yang berlangsung selama dua hari ini berakar dari tradisi lama penduduk desa yang bersyukur pada dewa gunung atas bantuannya selama musim tanam dan panen. Mantan pengajar studi religi dari Universitas Kyoto itu juga menjelaskan bahwa pada 2016, UNESCO telah menetapkan festival ini sebagai warisan budaya tak benda.

"Ini adalah waktu untuk merayakan karunia alam," kata Sonoda.



Pada abad pertengahan, festival itu berkembang menjadi sebuah perayaan pertemuan tahunan antara dewa gunung dengan dewi kota. Mereka dibawa dalam kotak bahtera berhias oleh sekelompok pria berpakaian putih melalui jalanan lalu diistirahatkan di taman kota sementara 6 pelampung dikumpulkan di alun-alun yang telah dipadati penonton. Setiap kedatangan pelampung itu dirayakan dengan ledakan kembang api.

Festival yang berlangsung setiap bulan Desember ini mampu menarik perhatian sampai 200 ribu orang. Namun dewasa ini, banyak orang Jepang tidak mengetahui cerita di balik festival itu. Mereka yang datang mengatakan kalau perayaan ini tidak memiliki arti religi untuk mereka meskipun mereka tetap ingin mempertahankan tradisi tersebut.

Mereka umumnya datang dari Tokyo menggunakan kereta dengan menempuh perjalanan sekitar 90 menit. Alasanya hanya untuk bersenang-senang dan mendapatkan pengalaman kebudayaan dengan ikut berjalan, menonton prosesi dan makan jajanan yang dijual di sekitar lokasi festival seperti cumi panggang, ayam yakitori, dan puluhan camilan lainnya.

Beberapa orang lainnya juga mengunjungi Kuil Chichibu untuk berdoa. Mereka akan berdoa menurut ajaran Shinto yaitu dengan bertepuk tangan dua kali untuk mendapatkan perhatian para dewa lalu membungkuk dengan tangan terlipat.

Seperti Ini Perayaan Rasa Syukur Orang JepangFoto: (AP)




Salah satu pengunjung festival, Mitsua Yamashita (69) rupanya rutin mengikuti festival ini selama 15 tahun terakhir. Ia mengungkapkan alasan kedatangannya hanya untuk menikmati festival itu.

"Saya suka kembang api dan makanannya. (saya datang) murni untuk menikmatinya. Saya tidak terlalu memikirkan aspek agama. Orang Jepang tidak terlalu religius, dan dengan cara lain kami semua berada di tempat yang religius," katanya.

Banyak orang Jepang secara bebas mencampurkan agama tergantung pada kesempatan yang ada seperti festival ini. Mereka akan mengunjungi kuil Shinto di Tahun Baru, mengadakan pemakaman Buddha atau menikah dalam pernikahan Kristen, pilihan yang populer meskipun hanya 1% populasi Jepang yang menganut Kristen.

"Saya tidak tahu apakah itu berarti kami fleksibel atau kami tidak memiliki keyakinan," kata Yamashita.

Seperti Ini Perayaan Rasa Syukur Orang JepangFoto: (AP)


Agama di Jepang diyakini sebagai budaya, hal yang komunal, dan ritualistik daripada keyakinan pribadi. Hal ini berbeda dengan negara lain di Asia, dunia Barat, atau negara-negara penganut Islam yang menekankan keyakinan individu atau seperangkat keyakinan berdasarkan pada kitab suci seperti Alkitab atau Alquran.

Shinto tidak memiliki teks suci atau teologi yang didefinisikan dengan jelas, dan banyak orang Jepang akan kesulitan untuk merangkumnya, termasuk para pengunjung festival ini.

"Itu (Shinto) adalah agama kehidupan. Shinto adalah sesuatu yang diwarisi dari leluhur yang memberikan spiritualitas yang diturunkan dari orangtua ke anak. Dan ini bukan hanya untuk manusia, tetapi kita juga terkait dengan hewan dan semua makhluk hidup. Karena mereka kita hidup," tambahnya.

"Pandangan akan dunia mungkin cara yang lebih baik untuk menggambarkannya," katanya.

Sonoda menjelaskan tidak ada angka pasti berapa banyak penganut Shinto di Jepang karena Shinto tidak memiliki layanan mingguan dan juga tak ada misionaris yang menyebarkan kepercayaan ini. Kendati demikian, orang-orang Jepang terus menjaga tradisi dan festival yang berhubungan dengan Shinto yang telah eksis dari para pendahulu mereka tersebut.




(aff/aff)

Hide Ads