Apa yang terbersit di benak traveler saat mendengar nama Hong Kong? Mungkin yang pertama terbayang adalah suasana perkotaan yang ramai, kuliner lezat, sampai aneka tempat hiburan menyenangkan. Tapi tahukah kamu di balik ingar-bingar tersebut penduduk Hong Kong menyimpan masalah serius terkait sulitnya mengakses hunian yang layak.
Memasuki tahun 2020, sebuah studi bertajuk 16th Annual Demographia International Housing Affordability Surveys: 2020 menetapkan Hong Kong sebagai kota termahal. Gelar ini sebenarnya lebih berkonotasi negatif alih-alih positif. Pasalnya, julukan kota termahal menunjukkan bahwa harga properti rata-rata di sana jauh di atas pendapatan rumah tangga rata-rata.
Berdasarkan penelitian tersebut, harga rumah rata-rata di Hong Kong hampir 21 kali lipat lebih mahal dari pendapatan rata-rata penduduknya. Dilansir dari CNBC, pada 2019, harga rumah rata-rata di sana adalah lebih dari USD 1,2 juta atau lebih dari Rp 16 miliar. Harga ini bahkan lebih tinggi dibandingkan di New York City dan kota-kota di Eropa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harga rumah di Hong Kong diketahui terus merangkak naik selama 20 tahun terakhir. Hal ini menyebabkan banyak orang yang sulit mengakses tempat tinggal yang layak. Menurut laporan New York Times, setidaknya ada 210 ribu dari sekitar 7,3 juta penduduk Hong Kong yang harus tinggal di apartemen sempit.
Baca juga: Hong Kong Jadi Kota Termahal di Dunia |
Traveler mungkin jadi bertanya-tanya, mengapa harga rumah bisa semahal itu?
![]() |
Jawabannya karena pemerintah memberlakukan kontrol ketat terhadap pengembangan lahan untuk properti baru. Dalam laporan Vox pada 2018 lalu, hanya 3,7 persen (sekitar 1.108 kilometer persegi) lahan di Hong Kong yang digunakan untuk hunian. Lalu kemana lahan lainnya?
Begini, lahan di Hong Kong sebenarnya masih banyak yang belum dikembangkan alias menjadi lahan tidur. Menurut data Pemerintah Hong Kong, lahan yang tidak dikembangkan di Hong Kong itu mencapai 75 persen.
Bila dilihat secara geografis, lahan-lahan tersebut berada di kawasan pegunungan yang berbatu dan tidak mudah dikembangkan. Tetapi menurut ahli tata kota, kondisi ini sebenarnya bukanlah penghalang bagi pemerintah untuk mengolahnya. Pemerintah lebih suka menyewakan lahan-lahan kosong di Hong Kong kepada pengembang yang umumnya berasal dari China.
Ya, semua lahan di Hong Kong itu dikuasai pemerintah dan yang berhak mengelolanya adalah pihak-pihak yang mau menyewa lahan dengan harga tinggi. Penyewa asal China itulah yang nantinya akan menggunakan lahan sebagai area pemukiman dan perkantoran. Nah, bisa dibayangkan mahalnya harga hunian akibat praktik ini.
Hong Kong sendiri dikenal sebagai negara dengan iklim investasi yang tinggi. Menurut Index of Economic Freedom yang dikeluarkan The Heritage Foundation, Hong Kong menempati posisi pertama sebagai negara yang paling bebas dalam ekonomi di dunia.
Hong Kong sangat ramah pada investasi asing dengan memberlakukan pajak yang rendah. Pajak rendah ini sebenarnya berimplikasi pula pada rendahnya pendapatan negara sehingga pemerintah menutupi kekurangan itu dengan sumber pendapatan lainnya yaitu sewa tanah.
"Kebanyakan penerimaan pemerintah di sini didapatkan dari penerimaan tanah dan sekitar 30 persen pendapatan keuangan pemerintah," kata CEO Designing Hong Kong, Paul Zimmerman sebagaimana dilaporkan Vox.
Kebijakan ini ramah pebisnis namun tak bagus untuk masyarakat Hong Kong sendiri.
Memangnya seberapa parah efeknya bagi masyarakat?
![]() |
Seperti yang telah diulas sebelumnya bahwa sekitar 210 ribu penduduk Hong Kong harus tinggal di sebuah apartemen yang telah dipetak-petakan secara ilegal. Luas ruangan hasil pemetakan itu bervariasi, ada yang seukuran 3x3 meter namun ada juga yang lebih sempit lagi yaitu 2x1 meter.
Ruangan itu umumnya hanya muat untuk satu orang, dimana mereka akan tidur, makan, dan melakukan aktivitas sehari-harinya di sana. Orang-orang menyebutnya sebagai kandang atau peti mati.
Salah satu warga Hong Kong, Kenneth Leung (55) dalam laporan New York Times mengungkapkan betapa sulitnya mendapatkan rumah yang layak huni sehingga ia terpaksa tinggal di petakan itu.
"Kami pikir, mungkin dengan mendapatkan pendidikan yang lebih baik, kamu bisa mendapatkan pendapatan yang lebih baik pula. Tapi di Hong Kong, selama dua puluh tahun lebih, orang-orang bisa mendapatkan pendidikan sampai perguruan tinggi, tetapi mereka tidak bisa mendapatkan lebih banyak uang," katanya.
Menurut Leung, pendapatannya selama ini masih tak cukup untuk membeli bahkan menyewa hunian yang layak. Ia juga terkadang tidak mampu membayar sewa sebesar USD 512 dolar atau sekitar Rp 7 juta sebulan. Gaji yang ia terima harus ia bagi-bagi untuk biaya sewa hunian, makan, dan lain sebagainya.
Namun, Leung masih lebih beruntung karena tidak harus sampai tinggal di rumah kandang yang ukurannya lebih sempit, sekitar 2x1 meter. Di sana biaya sewanya sekitar 1.300 dolar Hong Kong atau Rp 2,4 juta. Selain itu, orang-orang juga harus berbagi kamar mandi dan dapur dalam satu tempat yang sama.
Pada 2019 silam, CNN pernah melaporkan bahwa Pemerintah Hong Kong berniat melakukan proyek reklamasi di dekat Lantau, pulau terbesar di Hong Kong. Lahan yang akan direklamasi itu luasnya sekitar 1.000 hektar.
Pulau buatan ini rencananya akan digunakan untuk membangun 260 ribu unit perumahan yang 70 persen di antaranya ditujukan untuk masyarakat umum.
Akan tetapi rencana pemerintah ini mendapatkan kritik dari masyarakat, termasuk Greenpeace Hong Kong yang mengatakan proyek ini dapat merusak lingkungan.
Lebih lanjut World Wildlife Fund (WWF) juga mengatakan bahwa saat ini ada 1.200 hektar lahan brownfield yaitu lahan industri yang sebenarnya bisa digunakan untuk membangun perumahan umum daripada melakukan reklamasi.
Proyek reklamasi tersebut dikhawatirkan dapat merusak habitat satwa seperti lumba-lumba merah muda. Selain itu, proyek ini dikhawatirkan akan memperparah kondisi permukaan air laut yang meningkat akibat perubahan iklim.
(pin/krs)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!