Jepang meyakini filosofi mottanai yang lekat dengan ungkapan "sebutir nasi sejuta keringat". Apa maksudnya?
Ungkapan itu biasanya digunakan oleh orang tua untuk mendidik anak-anak agar menghabiskan makanan. Bukan dengan memaksa dan menakut-nakuti, namun orang tua di Jepang menerapkan filosofi agar anak-anak menyadari betul nasi yang ada di atas piring makan mereka merupakan usaha keras dari banyak orang.
Tak cuma larangan membuang-buang makanan, namun juga barang. Di Jepang, ajaran itu masuk dalam filosofi yang disebut mottainai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konsep mottainai ini berakar dari ajaran Buddha, yang meyakini adanya koneksi atau hubungan antara sebuah barang dengan pemiliknya. Dilansir dari BBC, Rabu (11/3/2020) melalui mottainai itu masyarakat Jepang melihat barang bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Makanya, keberadaannya harus dihargai.
Mottainai ini bahkan dimasukkan ke dalam konsep keberlanjutan (sustainability) yang disebut sebagai 'R' keempat, yaitu respect, setelah reduce, reuse, dan recycle.
Melalui respek ini, anak-anak diajak untuk menghargai peran dari sebuah barang dan berpikir ulang untuk membuang atau menyia-nyiakan fungsinya. Sebagai contoh, di Jepang, kita akan menemukan kudapan beras (senbaei) yang dibungkus menggunakan kertas tradisional yang disebut washi. Washi ini dapat digunakan kembali sebagai bungkus hadiah atau sampul buku.
![]() |
Tapi, filosofi mottainai ini perlahan mulai pudar di kalangan generasi zaman now Jepang. Realitasnya, Jepang merupakan penghasil sampah plastik per kapita terbesar kedua di dunia. Sampah ini bahkan lebih banyak dari sampah yang dihasilkan negara Uni Eropa.
Baca juga: Okayama, Kota Jepang yang Kini Ramah Muslim |
"Konsep mottainai itu berakar dari budaya Jepang tetapi sekarang ada tendensi untuk tidak peduli tentang konsep ini," kata Kepala Kampanye MOTTAINAI, Tatsuo Nanai.
MOTTANAI adalah sebuah NGO yang dibentuk usai kedatangan pemenang nobel asal Kenya sekaligus aktivis lingkungan, Wanragi Matthai pada 2005.
"Ia (Matthai) mengetahui tentang mottainai dan dia sangat terkesan dengan konsepnya," kata Nanai.
Kekuatan mottainai ini memang terletak pada maknanya yang kompleks.
"Mottai berasal dari kata Buddha yang merujuk pada esensi dari sesuatu. Itu bisa diaplikasikan pada semuanya yang ada di dunia kita, menunjukkan bahwa setiap benda tidak terisolasi tetapi terkoneksi satu sama lain," kata Nanai.
Kata 'nai' sendiri merupakan negasi sehingga 'mottainai' dapat diartikan sebagai "ekspresi kesedihan atas hilangnya hubungan antara dua entitas, hidup dan tidak hidup."
Ikatan antara pemilik dengan sebuah benda atau barang adalah elemen fundamental dari budaya Jepang. Misalnya, sebuah mangkuk diperbaiki dengan sangat hati-hati di upacara minum teh. Selain itu ada upacara khusus untuk mengucapkan terima kasih pada barang-barang bekas.
"Ketika benda tidak bisa lagi digunakan, kita selalu mengatakan 'otsukaresama-deshita!' kepada mereka (barang-barang). Itu berarti 'terima kasih atas kerja kerasmu',"kata Nanai.
![]() |
Saat ini di tengah kehidupan modern dimana barang diproduksi secara massal dan masyarakat terpapar konsumerisme, koneksi antara benda dengan pemiliknya ini sulit dijaga sehingga membuat masyarakat berjarak dengan lingkungan tempatnya tinggal.
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol