Pemanasan global telah banyak membuat dampak bagi bumi. Bahkan muara hutan bakau terbesar di dunia pun tak luput dari bencana.
Ya, hutan mangrove terbesar dunia dalam bahaya. Bagi traveler yang belum tahu, muara hutan mangrove terbesar dunia ada di perbatasan Bengali di India dengan Bangladesh, namanya Taman Nasional Sundarban.
Dilansir dari BBC, Taman Nasional Sundarban memiliki ratusan pulau dengan luas lebih dari 10.000 km persegi. Ragamnya vegetasi membuat Sundarban kaya akan spesies hewan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari data yang dimiliki oleh India, taman nasional ini memiliki 50 spesies mamalia, 315 jenis burung dan 59 jenis reptil. Saat ini Sundarban menjadi rumah terakhir bagi Harimau Royal Bengal.
Kekayaan Sundarban menjadi penghidupan bagi hampir dari setengah juta orang yang hidup di dekat hutan mangrovenya. Menjadi nelayan, warga lokal bisa menangkap berbagai macam ikan, kepiting sampai mengumpulkan madu hutan.
![]() |
Berada di mara sungai Gangga, Taman Nasional ini masuk dalam daftar situs warisan dunia UNESCO. Selain memiliki kepentingan ekonomi, Taman Nasional Sundarban dalah penghalang badai, pengaman pantai perangkap sedimen dan sumber berbagai organisme akuatik, bentik dan darat.
Namun sayang, keberadaannya kini mengkhawatirkan. Seperti diberitakan oleh BBC, pulau-pulau di taman nasional ini mulai tenggelam. Naiknya muka air laut karena pemanasan global menjadi penyebab utama.
Selama tiga tahun terakhir Taman Nasional Sundarban mengalami empat badai siklon. Alhasil, banyak penduduk yang tadinya mengandalkan ekonomi lewat kekayaan alam Sundarban, harus 'pamit' dan mencari pekerjaan ke kota besar.
Kebanyakan yang keluar dari sana adalah kepala keluarga. Sementara istri dan anak mereka bertahan hidup di pulau yang hampir tenggelam. Feroza Khatun, seorang warga Pulau Mousuni memberikan kesaksian akan kerasnya hidup mereka.
![]() |
"Saat kami sedang menyiapkan makan malam, badai kemudian datang. Semua orang mulai keluar dari rumah mereka beserta anak-anak," ucapnya.
Feroza menjadi salah satu saksi hidup tentang bertahan hidup di tengah badai. Karena tak memiliki tempat tujuan, perempuan memilih berlindung di bawah kasur. Jika atap rumah roboh, setidaknya tidak menimpa mereka.
Kisah Taman Nasional Sundarban Selanjutnya
"Suamiku tak ada di sana ketika badai terjadi. Saya meneleponnya setelah badai reda dan dia sangat khawatir," ujarnya.
Suami Feroza harus menahan sakitnya penderitaan selagi bekerja sebagai kuli di pabrik garmen. Jarak antara kampung halaman dan Kolkata sendiri 130 km.
"Saya tidak menghasilkan cukup uang untuk membawa istri dan anak saya ke Kolkata," ucap Sheik Mustakin, suami Feroza.
Sheik mengatakan bahwa di tempat kerjanya ada begitu banyak pria sepertinya. Kebutuhan mereka saat ini hanya bertahan hidup.
![]() |
Dulunya Sheik bekerja sebagai petani di Sundarban. Naiknya permukaan air laut, membuat lahan garapannya tenggelam dan menghentikan perekonomiannya.
"Ada begitu banyak wanita seperti saya, mereka bertahan hidup di sini sementara suami kami bekerja di luar kota," cerita Feroza.
Rindu tak bisa terbendung. Feroza bahkan membantu anaknya untuk menyibukkan diri agar tak terlalu memikirkan ayahnya.
"Saya juga merasa kesepian, tapi tak bisa bercerita ke siapa-siapa. Kepada siapa lagi saya curhat kalau tidak ada suami saya?" ucapnya menahan tangis.
Para akedemisi juga melihat keberadaan miris Sundarban. Salah satunya Profesor Sugata Hazra, Jadavapur University.
"Jika kita kehilangan Sundarban, maka laut akan masuk ke Kolkata," ujarnya.
Bukan cuma kehilangan 5-10 juta orang, India akan kehilangan situs warisan dunia yang dilindungi oleh dunia. Meski pelan, tapi hilangnya pulau-pulau Sundarban semakin pasti.
"Karena badai menghancurkan rumah kami, banyak dari kami yang sekarang hidup di dalam tenda sementara," kata Prabhat dan Phullora Mondal, warga Pulau Sonagha.
![]() |
Kejadian ini sudah dialami oleh para warga setiap tahun. Sedangkan pergi dari sana bukanlah pilihan untuk mereka. "Kami tidak punya uang, bagaimana kami mencari kerja? Kami tidak mengenal siapa pun di kota," ujar mereka.
Saking pahitnya keadaan mereka, warga Sonagha bahkan bersedia untuk mati di sana. Tak ada jalan keluar. Senin (26/7) kemarin, kita memperingati Hari Mangrove Sedunia. Kiranya keberadaan mangrove bisa semakin terawat demi kelangsungan hidup masyarakat. Yu, kita jaga hutan mangrove kita.
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!