Secara teori, skema itu tampak seperti ide yang bagus, terutama di bagian dunia di mana telur langka atau sangat mahal. Di California atau New York, misalnya, selusin telur berharga sekitar USD 9 (senilai Rp 152.000).
Karena beberapa ras ayam dapat bertelur hingga 300 telur setiap tahun, satu ayam dapat menghasilkan telur senilai hingga USD 225 (senilai Rp 3,8 juta setiap tahun). Namun dalam praktiknya, Paul Behrens, seorang profesor di Universitas Oxford yang berfokus pada sistem pangan, mengatakan ada beberapa hambatan yang menghalangi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Inggris muncul kekhawatiran tentang penyebaran penyakit, salah satunya flu burung. Selain itu, ada alasan bahwa biaya perawatan, termasuk pengadaan kandang cukup sulit.
"Saya yakin itu bisa dilakukan di Inggris tetapi saya tidak yakin itu ide yang bagus," katanya.
"Flu burung adalah kekhawatiran yang selalu ada. Peraturan saat ini berarti Anda harus memelihara ayam di area berpagar atau di dalam ruangan-ini mungkin menjadi masalah lagi untuk kesejahteraan hewan, atau bahkan penyebaran penyakit jika orang tidak melakukannya," kata dia.
Bahkan, warga AS menilai memelihara ayam menjadi sumber berisik. Mereka terganggu suara ayam.
Mark Bomford, direktur program pangan berkelanjutan Universitas Yale, mengatakan sde itu juga tidak akan berjalan dengan baik di AS.
"Saya suka ayam, tetapi saya tidak suka suaranya, terutama di AS," kata Bomford.
"AS saat ini mengalami kekurangan telur karena wabah flu burung. Akibatnya harga telur melonjak 36% dibandingkan pada 2023. Namun, membagikan ayam gratis bukanlah respons yang tepat," Bomford menambahkan.
Baca juga: Toilet Berbayar, yang 'Setor' Dibayar |
"Secara ekonomi, inflasi yang tajam untuk bahan makanan pokok seperti telur lebih menyakiti orang miskin daripada orang kaya. Untuk merawat ayam, Anda membutuhkan pakan, air, tempat tinggal, ruang, dan waktu luang," katanya.
"Kebanyakan orang dengan pendapatan rendah tidak memiliki akses ke hal-hal ini. Pada saat Anda memperhitungkan semua biaya ini, ayam jarang yang 'gratis' dan hanya sedikit orang yang menyadari selisih antara nilai telur yang dihasilkan dan total biaya pemeliharaan ayam."
Namun, sepasang suami istri menemukan solusi unik, yaitu menyewa ayam. Christine dan Brian Templeton dari Rent The Chicken di New Hampshire menyediakan ayam betina, pakan, dan dukungan selama enam bulan, memungkinkan pelanggan mengumpulkan telur segar di rumah.
Behrens memperingatkan agar pemilik ayam menahan ekspektasi terhadap jumlah telur. Sebab, unggas industri bertelur jauh lebih banyak daripada unggas sehat yang dipelihara di rumah.
"Unggas petelur umum dan modern sering mengalami rasa sakit yang luar biasa sepanjang hidup mereka, sebagian karena genetika mereka yang berpusat pada penyediaan 'output' sebanyak mungkin," kata dia.
"Jika Anda menggunakan ras yang lebih tua dan membiarkan mereka hidup lama dan sehat, maka Anda dapat menghindari banyak masalah kesejahteraan hewan yang paling mencolok," ujar dia.
"Tetapi orang-orang harus memahami pertukaran dan harapan seputar itu, Anda memiliki unggas yang jauh lebih sehat sebagai imbalan untuk telur yang lebih sedikit," dia menambahkan.
Dan dari perspektif limbah makanan, tindakan ideal adalah tidak membuang-buang makanan sama sekali. Beberapa peneliti percaya bahwa pengomposan sebenarnya dapat meningkatkan limbah makanan.
"Mereka berpikir 'oh, tidak apa-apa karena kami mengompos'," kata Behrens.
"Yang lebih baik daripada tidak sama sekali, tetapi jauh lebih buruk daripada tidak membuang-buang sampah sejak awal. Bahkan bisa lebih buruk dengan ayam karena Anda mendapatkan telur dari mereka. Orang mungkin akan membuang lebih banyak sampah daripada ketika mereka mengompos," ujar dia.
Tetapi, satu manfaat tak terduga yang diamati di Colmar-yang tidak ada hubungannya dengan telur atau limbah makanan-adalah komunitas yang diciptakan oleh ayam. Warga akan terikat dalam memelihara ayam dan akan bekerja sama dengan tetangga untuk merawat ayam saat mereka pergi berlibur.
"Warga menyambut baik program ini sejak diluncurkan. Dan itulah mengapa semua kota di Colmar masih berpartisipasi dalam program kami hari ini," kata Straumann.
Limbah makanan menyumbang emisi metana lebih banyak ke atmosfer daripada bahan-bahan lain yang dibuang ke tempat pembuangan akhir karena tingkat pembusukannya yang cepat.
Di AS, sekitar 58% emisi metana yang dilepaskan ke atmosfer dari tempat pembuangan sampah berasal dari limbah makanan.
Meskipun berumur lebih pendek di atmosfer daripada karbon dioksida (CO2), metana memiliki dampak pemanasan global lebih dari 80 kali lebih tinggi daripada CO2 selama periode 20 tahun.
Sekitar sepertiga makanan yang diproduksi untuk manusia hilang atau terbuang secara global, mencapai 1,3 miliar ton per tahun.
Kehilangan dan pemborosan makanan menyumbang 8-10% dari emisi gas rumah kaca global tahunan-yang hampir lima kali total emisi dari sektor penerbangan.
Baca juga: Upaya Pariwisata Bali Kurangi Sampah Plastik |
Simak Video "Video: KLHK Targetkan 300 Peta Jalan Pengurangan Sampah Pada 2025"
[Gambas:Video 20detik]
(fem/fem)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!