Ada satu pesan Presiden Soekarno yang begitu terkenal, yakni bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Perkataan itu, mungkin berbanding terbalik dengan perjalanan hidup Johannes Hammerle di Nias.
Siapa Johannes Hammerle? Dia adalah seorang misionaris asal Jerman yang datang ke Nias tahun 1971, untuk menyebarkan ajaran Katolik Ordo Kapusim. Namun, bukan soal agama atau kepercayaan yang membuat saya begitu tertarik untuk berbincang dengannya.
"Budaya dan sejarah di Nias itu banyak keunikan, seperti batu-batu megalitik yang umurnya ratusan tahun atau rumah adat yang tiang penyangganya tak beraturan, ke depan belakang kiri kanan dan ternyata itu adalah untuk mengantisipasi gempa. Rumahnya tak bakal hancur oleh gempa," tuturnya kepada detikTravel di Restoran Kaliki, Jl Yos Sudarso, Gunungsitoli, Nias, Senin (16/6/2014) malam.
Selain sebagai misionaris, Johannes rupanya punya ketertarikan tinggi kepada sejarah dan kebudayaan Nias. Dia mengaku, banyak menemukan hal-hal tersebut ketika sedang datang ke satu tempat yang dimulai saat berada di wilayah Teluk Dalam, Nias bagian selatan.
Johannes pun belajar lebih dalam tentang budaya dan sejarah masyarakat Nias. Sampai-sampai, dia membuat buku Ritus Patung Harimau pertama kali tahun 1986 yang berisi tentang tradisi, budaya dan peninggalan masyarakat Nias bagian selatan.
Rasa cinta Johannes kepada budaya dan sejarah Nias pun memang tak perlu diragukan lagi. Namun seiring berjalan waktu, dia malah merasa miris manakala orang Nias sendiri tidak begitu peduli terhadap budaya dan sejarahnya.
"Kamu tahu, banyak batu-batu megalitik yang dijual ke Medan atau ke Jakarta karena harganya. Banyak orang Nias berpikir kalau itu hanya harta zaman dulu," tutur Johannes.
Dia menambahkan, apalagi setelah banyak pemeluk Katolik di Nias, batu-batu atau patung-patung dibiarkan begitu saja atau dibuang. Sebab, mereka menganggap itu kepercayaan leluhur yang bisa merusak keimanan. Toh, Johannes jelas-jelas malah menyelamatkannya dengan alasan sebagai situs bersejarah!
Tak hanya belajar, akhirnya Johannes memutuskan ingin membuat museum untuk mengumpulkan benda-benda bersejarah dan makin giat menulis tentang kebudayaan Nias di tahun 1990 bersama anggota gerejanya. Benda-benda bersejarahnya seperti batu megalitik, ukiran patung, perhiasan dan artefak.
"Itu sejarah dan budaya, yang harus dilestarikan dan tak boleh hilang," tegas pria berumur 73 tahun itu.
Selanjutnya, perjuangan Johannes untuk membuat museum pun tak berjalan mulus. Malah, perizinan membuat museum sempat ditolak Pemda Nias di tahun 1991 dan harus melalui proses berbelit-belit.
"Kalau kami hanya mengumpulkan benda-benda bersejarah saja dan tidak membuat museum juga berbahaya bisa dianggap ilegal," katanya.
Setelah melalui proses panjang, Johannes akhirnya bisa meresmikan Museum Pusaka Nias di tahun 2005. Tapi sayang, saat itu terjadi tsunami dahsyat yang meluluhlantakan Nias dan batal lah semua rencananya. Johannes harus kembali gigit jari.
"Saat tsunami, banyak kerusakan di Nias dan juga museumnya. Jadi baru diresmikan tahun 2008," ujar pria yang berasal dari Black Forest, Jerman ini.
Museum Pusaka Nias bisa Anda datangi di Jl Yos Sudarso No 134 A, Gunungsitoli, Nias. Di sinilah, Anda bisa melihat banyak koleksi unik tentang sejarah dan kebudayaan Nias, termasuk fosil gigi paus yang umurnya jutaan tahun lalu.
"Jadi, dulu itu Nias adalah dataran di dasar laut. Seiring terus adanya gempa bumi, datarannya naik ke atas laut dan menjadi pulau. Ketika di dalam laut itulah, mungkin ada paus yang mati dan giginya tertinggal di sana," papar Johannes.
Total, ada 6.000 koleksi benda bersejarah di Museum Pusaka Nias. Sebuah kerja keras Johannes berbuah hasil, wisatawan bisa tahu lebih banyak tentang budaya, tradisi dan sejarah masyarakat Nias.
"Batu megalith di Nias paling tua itu umurnya 500 tahun lalu," ucapnya ketika ditanya tentang koleksi-koleksi unik di Museum Pusaka Nias.
Ada rasa malu ketika saya berbincang panjang lebar dengan Johannes. Rasa malu, mengapa bukan orang Indonesia yang peduli terhadap budaya dan sejarah sendiri, mengapa bukan orang Indonesia yang melakukan apa yang dilakukan Johannes?
Setidaknya, kegigihan kisah Johannes justru seharusnya bisa memacu kita untuk lebih mencintai Indonesia. Vielen Dank, Johannes!
(shf/shf)
Komentar Terbanyak
PHRI Bali: Kafe-Resto Putar Suara Burung Tetap Harus Bayar Royalti
Traveler Muslim Tak Sengaja Makan Babi di Penerbangan, Salah Awak Kabin
Kronologi Penumpang Lion Air Marah-marah dan Berteriak Ada Bom