Sisi hidup masyarakat kepulauan selalu menarik untuk diulik. Begitu pula dengan Pulau Miangas yang jadi garda utara Indonesia.
Ekspedisi detikcom yang diselenggarakan bersama Bank BRI selama seminggu ini membuka pemahaman lain tentang Miangas. Meski kecil, pulau ini punya medan yang ekstrem.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Melihat Kesiapan Miangas dalam Pariwisata |
Mari mulai dengan pulau kecil yang memiliki luas 3,2 kilometer persegi. Penduduknya hanya 1.012 jiwa, termasuk dengan satuan petugas yang menjaga pulau perbatasan.
Lebih dari setengah wilayah ini ditumbuhi oleh pohon kelapa. Karena kelapa menjadi salah satu cara orang Miangas untuk mencari nafkah.
![]() |
Dikelilingi oleh lautan lepas, nelayan Miangas memiliki ketangguhan yang luar biasa. Gelombang tinggi dan angin kencang sudah menjadi makanan sehari-hari.
"Di sini matahari satu untuk satu orang," ujar mama Femi, pemilik penginapan saya.
Benar saja, cuaca menyengat yang ada di Miangas membuat peluh berjatuhan. Namun angin laut yang sangat kencang lumayan membantu untuk menghilangkan keringat.
Baca juga: Miangas, Jangan Menangis Lagi |
Pantai, bukit menara mercusuar dan pohon kelapa. Tak ada tempat hiburan buatan manusia, sinyal juga sangat terbatas. Memang, Miangas sangat cocok buat wisatawan yang penat dengan kehidupan kota.
"Pendatang jarang yang bisa tahan lama. Karena medan di sini begitu ekstrem hanya untuk petarung," tutur penduduk setempat.
Setelah beberapa hari tinggal di Miangas, saya mengerti arti ucapan ini. Masalah utama dari pulau ini adalah kurangnya pasokan kebutuhan untuk masyarakat.
Kalau laut teduh, warga Miangas bisa menangkap ikan dengan perahu motor atau pamboat. Kalau sedang ekstrem, warga biasanya bajubi atau menangkap ikan dengan senjata tradisional.
![]() |
Hasilnya pun tak seberapa. Harapan penduduk Miangas adalah kapal yang datang. Karena pasokan kebutuhan sehari-hari mereka titip lewat sanak saudara di Melonguane, Talaud. Sayangnya, kapal seringkali terlambat karena cuaca buruk. Bahkan pernah tak ada kapal selama sebulan.
Masyarakat mengakali kebutuhan sehari-hari dari alam, seperti yang diajarkan oleh leluhur mereka. Penduduk akan mengolah laluga, umbi-umbian seperti talas sebagai pengganti nasi.
Hasil ladang berupa sayur dan buah pisang menjadi santapan hari-hari. Semua mereka olah dari alam.
Untuk urusan transportasi udara, Miangas sedikit bisa bernapas lega. Karena sekarang sudah ada penerbangan menuju Melonguane dan Manado meski seminggu sekali. Harganya pun cukup fantastis bagi kantong warga Miangas.
"Di sini sudah 5 tahun tidak ada dokter, tidak ada yang tahan," ujar Sepno Lantaa, Camat Khusus Miangas.
Disebutkan pula ada saja pekerja pemerintahan yang hanya "numpang nama" di sini. Diminta untuk tinggal setahun, tapi mereka lari ke Melonguane dan hanya datang sesekali. "Banyak yang namanya kerja di sini, tapi tidak ada orangnya," ungkap Sepno.
![]() |
Tantangan lain adalah kendaraan. Dengan kadar garam yang sangat tinggi, kendaraan seperti motor dan mobil akan mengarat dengan cepat. Padahal tak ada bengkel di sini.
Untungnya sejak tahun 2016, BRI hadir di tengah Pulau Miangas. Kebutuhan transaksi yang tadinya ke Melonguane, sekarang sudah tidak.
"Dulu kamu biasanya titip buku tabungan atau uang ke kapal buat kebutuhan anak sekolah. Uang yang diterima biasanya berkurang. Tapi sekarang sudah tidak perlu titip lagi," ujar Mama Indai, penduduk Miangas.
Ikuti terus berita tentang ekspedisi di pulau-pulau terdepan Indonesia di tapalbatas.detik.com!
(bnl/bnl)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Tragedi Juliana di Rinjani, Pakar Brasil Soroti Lambatnya Proses Penyelamatan