Dark Tourism, 'Wisata Kelam' yang Kian Populer

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Dark Tourism, 'Wisata Kelam' yang Kian Populer

Putu Intan - detikTravel
Kamis, 21 Nov 2019 09:15 WIB
Kamp Konsentrasi Nazi di Auschwitz, salah satu lokasi wisata kelam (Foto: iStock)
Jakarta - Dark tourism atau 'wisata kelam' kian populer walaupun identik dengan tragedi dan kesedihan. Lantas, mengapa wisata ini diminati banyak orang?

Dilansir dari The Washington Post, J. John Lennon yang merupakan profesor pariwisata dari Universitas Glasgow Caledonian Skotlandia menjelaskan bahwa dark tourism sejatinya bukan fenomena baru. Ia bersama rekan-rekannya membuat istilah ini pada 1996.

'Wisata kelam' adalah mengunjungi tempat terjadinya tragedi kelam dalam sejarah manusia. Kejadian itu bisa termasuk genosida, pembunuhan, penahanan, pembersihan etnis, perang, dan bencana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT




Ada beberapa orang yang kerap mengasosiasikan dark tourism dengan cerita hantu atau cerita menakutkan. Tapi mereka yang mempelajari hal ini mengatakan kalau wisata kelam tidak berkaitan dengan hal-hal gaib.

Fenomena wisata kelam memiliki sejarah panjang. Salah satunya adalah wisata dari peninggalan Perang Waterloo yang dibuka pada 1815. "Ada bukti dari dijalankannya wisata kelam Perang Waterloo dimana orang-orang melihat gerbong ketika perang itu dilaksanakan."

Selain itu, Lennon juga menjelaskan contoh 'wisata kelam' yang lebih tua lagi yaitu pada abad ke-16 dimana orang-orang berkumpul untuk melihat situs eksekusi orang-orang yang digantung di London. Namun, situs tersebut dinilai lebih modern dibandingkan dengan Colosseum di Roma yang juga terbuka untuk publik.

Dark Tourism, 'Wisata Kelam' yang Kian Populer Foto: (Johanes Randy/detikTravel)

Di Indonesia sendiri terdapat beragam situs dark tourism seperti bekas penjajahan Belanda dan Jepang. Contohnya seperti penjara bawah tanah di Museum Fatahillah. Selain itu, ada pula situs untuk mengenang bencana alam yang terjadi di Indonesia seperti Museum Tsunami Aceh dan bekas kampung Mbah Maridjan yang tersapu awan panas saat erupsi Merapi.

Tidak ada data resmi yang menunjukkan seberapa banyak orang yang berpartisipasi dalam wisata kelam setiap tahunnya. Namun salah satu contoh yang menggambarkan populernya wisata ini terjadi di Chernobyl, Ukraina setelah miniseri HBO berjudul Chernobyl ditayangkan tahun ini. Chernobyl bercerita tentang ledakan pembangkit listrik tenaga nuklir tahun 1986.




Usai penayangannya, pihak perusahaan wisata yang membawa orang-orang berkunjung ke sana mengatakan terjadi lonjakan pengunjung antara 30 sampai 40 persen. Melihat hal itu, pemerintah Ukraina mengumumkan rencananya membuat Zona Ekslusif Chernobyl menjadi spot wisata resmi meskipun adanya radiasi di tempat itu.

Dark Tourism, 'Wisata Kelam' yang Kian Populer Bangunan terbengkalai bekas ledakan nuklir di Chernobyl. (Foto: iStock)

Melihat fenomena ini, Direktur Eksekutif Institut Penelitian Dark Tourism di Universitas Central Lancashire di Inggris, Philip Stone, juga mengatakan adanya selera masyarakat yang membuat destinasi ini makin berkembang.

"Saya pikir 'wisata kelam' ini beralih dari alasan politik atau alasan budaya ke ekonomi pengunjung untuk mengingat kematian dan bencana," katanya. "Ada semacam mania (kesukaan) pada hal yang bersifat memorial. Kamu bisa menyebutnya sebagai pertumbuhan dari wisata kelam."

Lalu, mengapa orang-orang bisa terpikat dengan 'wisata kelam'?

Stone mengatakan, "saya pikir ketika kita pergi ke suatu tempat ('wisata kelam'), kita melihatnya bukan sebagai sesuatu yang asing tapi kita seringkali melihat diri kita sendiri dan bila kita hidup di masa itu, kita mungkin akan melakukan hal yang sama."

Dark Tourism, 'Wisata Kelam' yang Kian Populer Salah satu situs wisata kelam, Auschwitz Concentration Camp. (Foto: iStock)

Dengan kata lain, orang-orang yang datang ke destinasi itu justru ikut bercermin pada diri sendiri akan kejadian di masa lalu yang telah terjadi.

Mereka yang sangat familiar dengan dark tourism tidak akan mengutuknya. Sebaliknya, 'wisata kelam' dapat membuat mereka menghargai kondisi saat ini dan lebih berhati-hati dalam bertindak di masa depan.

"Situs-situs ini penting untuk memberitahu kita bagaimana menjadi manusia," kata Lennon.




"Menurut saya, tempat itu penting untuk merefleksikan dan mencoba lebih memahami kejahatan yang mungkin kita lakukan," tambahnya.

Akan tetapi, di balik kepopuleran destinasi 'wisata kelam' ada kekhawatiran akan risiko eksploitasi yang mungkin terjadi. Salah satu contohnya adalah ketika pengunjung yang datang bersikap yang tidak sopan seperti foto tersenyum di depan situs dark tourism.

'Wisata kelam' memang bukanlah wisata hura-hura yang bisa sembarangan dirayakan. Dark tourism adalah tempat kita belajar dan mengenang tragedi yang pernah terjadi.





(krs/krs)

Hide Ads