Nama Dubai kini makin populer di dunia traveling. Gemerlapnya kota ini membuat siapa pun menjadikan Dubai masuk bucket list untuk liburan, termasuk saya.
Pertama kali menginjakkan kaki di kota UEA ini, membuat saya cukup deg-degan. Citra kota-kota Arab yang tertutup dan 'dingin' sempat lalu-lalang di kepala.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak sadar, saya sudah melangkahkan kaki keluar dari bandara. Saya memperhatikan sekeliling, rata-rata semua berbaju panjang. Sedangkan saya hanya dengan rok mini dan baju tipis. Tapi tak ada pandangan aneh yang saya dapatkan.
Dari luar bandara, bayang-bayang hutan beton mulai tampak. Pelan-pelan, saya nikmati semua pemandangan gedung-gedung pencakar langit dari jendela bus menuju tengah kota.
![]() |
Gedung-gedung bertuliskan EMAAR memamerkan dirinya. Burj Khalifa, juga tak mau kalah dari kejauhan. Dubai frame yang berlapis emas mulai bersinar dengan sentuhan matahari yang makin meninggi. Semua tampak berkilauan.
Kota ini berdetak cepat, namun saya tak mau buru-buru. Saya mau mundur ke masa lalu. Saya butuh tahu, apa yang menjadikan Dubai begitu nafsu untuk punya pamor di dunia wisata yang tak lagi baru.
Saya mulai dari buku Wakil Presiden dan Perdana Menteri Dubai, Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum yang berjudul My Story. Dalam bukunya, Sheikh Mohammed menuturkan masa kecilnya yang penuh dengan cinta.
![]() |
Cinta dari orang tua, kebebasan berpikir dan pengalaman keras yang diberikan sejak kecil menjadi gelombang semangat Sheikh Mohammed dalam memajukan Dubai.
Tak cuma bahagia, lara pun dia rasa. Kehilangan ibunda tercinta, bencana-bencana kebakaran yang dialami warga Dubai membuatnya sadar bahwa sebagai pemimpin ia harus melakukan banyak hal.
Mimpinya adalah menjadikan Dubai sebagai rumah bagi siapa pun yang membutuhkan. Di tengah kerasnya perlombaan hidup, Sheikh Mohammed ingin Dubai jadi tempat untuk pulang.
![]() |
Dengan waktu yang tidak sebentar, Dubai melakukan banyak inovasi. Teknologi dan inspirasi diserap cepat untuk mengubahkawasan gurun menjadi kota modern.
Saya mendongak kembali ke jendela, terlihat mobil-mobil mewah melaju cepat dari dua arah. Tak ada jeda, mereka seakan saling berlomba.
Bayang-bayang kemiskinan warga Dubai di zaman dulu seakan lenyap. Jejak nelayan, penyelam mutiara, dan orang gurun mulai berganti jadi tambang minyak dan emas.
Mimpi Sheikh Mohammed mulai terlihat, kini Dubai menjadi salah satu kota dengan julukan second home seperti Singapura. Orang India, Afrika, Filipina sampai Indonesia bersama-sama tinggal di Dubai untuk mencari penghidupan yang layak.
Dasar pemikiran Sheikh Mohammed akan rumah bagi semua orang dipahami oleh warganya. Toleransi kini jadi aturan penting untuk bisa hidup di Dubai.
![]() |
Bulan Ramadhan kemarin saja, warga muslim tidak berbuka di masjid tapi di gereja. Mereka menunjukkan kepada dunia bahwa tidak ada ruang untuk permusuhan 'di dalam rumah'. The Year of Tolerence jadi cap yang dirasa tepat untuk mendeskripsikan tahun ini.
Turun dari dalam bus, saya mulai merasakan angin musim dingin. Memakai mantel dan menapaki keramaian, wisatawan dan warga membaur tanpa ada perbedaan.
Imej pertama yang saya bentuk tentang Dubai mulai hilang. Rasa ingin tahu menguat di setiap destinasi yang akan saya jelajahi.
Nantikan kembali pembahasan detikcom tentang destinasi Dubai di artikel selanjutnya!
(bnl/bnl)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!