Kisah Mantan Pedagang Asongan Dirikan Desa Bahasa Borobudur

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Kisah Mantan Pedagang Asongan Dirikan Desa Bahasa Borobudur

Eko Susanto - detikTravel
Senin, 02 Des 2019 08:49 WIB
Foto: Desa Bahasa Candi Borobudur (Eko Susanto/detikcom)
Yogyakarta - Tak jauh dari Candi Borobudur ada Desa Bahasa. Lembaga kursus Bahasa Inggris ini didirikan oleh mantan pengasong di Candi Borobudur.

Nama pendiri lembaga kursus bahasa Inggris ini adalah Hani Sutrisno. Saat masih duduk di kelas 2 Madrasah Ibtidaiyah (MI), ayahnya meninggal dunia. Hani merupakan anak terakhir dari lima bersaudara.

Kisah Mantan Pengasong Dirikan Desa Bahasa BorobudurFoto: Pendiri dan pemilik Desa Bahasa, Hani Sutrisno (Eko Susanto/detikcom)


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika menduduki kelas 4 MI, Hani mencari batu di sungai untuk dipecah dan dijual agar bisa membayar SPP sekolah. Ketika itu, anak seusianya jarang ada yang mencari dan menjual batu.

Setelah lulus SD dan memasuki SMP, Hani ingin berjualan di Candi Borobudur. Namun saat akan berjualan di Candi Borobudur, ibunya tidak memperbolehkan dan menyuruhnya untuk sekolah. Sedangkan untuk biaya sekolah, ibunya yang akan mencarikan.

Namun, Hani ingin membantu ibunya. Menjelang penutupan pendaftaran masuk SMP, ibunya memperbolehkan Hani jualan di Candi Borobudur.

"Saat SMP, saya ingin jualan di Borobudur, sebenarnya simbok (ibu) nggak boleh. Saya diminta sekolah saja, masalah duit simbok yang cari. Saya merasa kasihan karena kakak saya masih SMP, kakak juga masih SMA sehingga ibu tinggal sendirian, artinya cari nafkah sendiri kan terlalu berat, petani tandah hujan lagi. Wis pokoknya kalau melihatnya luar biasa. Artinya, saya nggak mau bikin beban. Dari situ, saya nggak boleh jualan di Borobudur, terus saya nggak mau sekolah. Akhirnya, sudah mepet dari pendaftaran sudah mau ditutup, terus simbok saya memperbolehkan jualan asalkan sekolah," kata Hani saat ditemui di Desa Bahasa, Dusun Parakan, Desa Ngangogondo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jumat (29/11/2019).

Hani Sutrisno yang dibiasa di panggil Mr Hani ini mulai berjualan di Candi Borobudur sekitar tahun 1986-an sambil berjualan es joli. Saat itu, lokasi parkiran masih ada di kawasan Dagi.



Berjualan es joli ketika itu hanya bertahan seminggu karena banyak tantangannya, kemudian ganti jualan patung gips, terus berjualan kipas batik. Demikian halnya berjualan kipas batik tidak lama juga karena kalah dengan yang senior.

"Saya anak kemarin sore, anak SMP masih kecil sering dimarahi sama teman-teman senior, tapi lama-lama kenal jadi nggak begitu. Terus, saya berpikir kenapa kok nggak ada yang jualan dengan orang asing. Waktu itu, banyak orang asing, tapi jarang sekali jualan, bisa dihitung dengan jarilah. Karena tidak semua orang bisa, akhirnya saya belajar," ujarnya.

Saat masih berjualan di Candi Borobudur, Hani yang masih duduk di SMP kenal oleh guide maupun sesama pedagang lainnya. Terkadang, dia ikut guide naik candi sambil mendengarkan dan bertanya-tanya. Jadi, dia selalu bertanya kepada siapapun yang ditemuinya sambil berjualan postcard.

"Pokoknya siapapun saya tanyain. Yang saya tanya cuma menghitung, one, two, three, four, five, six, seven, eight, nine, ten, two dolar. Jadi waktu itu, saya sambil jual 5 dolar, 4 dolar atau 2 dolar. Minimal 2 dolar, 2 dolar dapat 10 postcard. Waktu itu, dolar baru Rp1.500 sekitar tahun 1986 atau 1987-an," tutur Hani.



Untuk satu kartu pos ini harga kulakan saat itu masih Rp 75. Saat menjajakan kartu pos kepada turis asing tersebut, selain belajar Bahasa Inggris, Hani juga belajar Bahasa Jepang dan Perancis. Bahasa asing yang dipelajari ketika itu khusus hitungan untuk jualan.

"Saya jualan belajar Bahasa Jepang, Bahasa Perancis, Bahasa Inggris. Artinya, cuma menghitung untuk perdagangan. Jualan postcard, kendala pasti ada. SMA saya nggak boleh jualan karena harus mondok ke Darul 'Ulum, Jombang. Saya di MAN Darul 'Ulum Jombang, Alhamdulillah 3 tahun lulus," ujarnya

Setelah lulus dari MAN Darul 'Ulum Jombang, Hani pun kembali ke kampung halamannya. Ia semula ingin berjualan lagi, namun berpikir jika pulang hanya jualan lagi, kenapa harus sekolah di MAN. Ia terus meminta izin kepada ibunya untuk kursus Bahasa Inggris diperbolehkan, namun lainnya tidak memperbolehkan karena tidak ada biaya.

"Saya pamit ingin kursus Bahasa Inggris, ibu saya boleh, tapi semua nggak boleh karena tidak ada biaya. Akhirnya, saya minta izin untuk cari duit, saya ke Bandung kerja di konveksi selama 4 tahun. Saya ngumpulin duit, terus saya mencoba untuk belajar lagi secara otodidak," kata Hani.

Sekitar tahun 1994-1995-an, sepulang dari Bandung Hani terus mengajar kepada teman-temannya maupun para pemuda di Dusun Parakan. Ia bahkan menjadi guide freelance di Candi Borobudur. Saat menjadi guide tersebut bertemu dan berkenalan dengan pemilik Basic English Cource (BEC) Pare , Kediri, Mr Kallen

Kisah Mantan Pengasong Dirikan Desa Bahasa BorobudurFoto: Desa Bahasa Candi Borobudur (Eko Susanto/detikcom)


"Akhirnya, saya jadi guide di Borobudur, freelance terus ketemu Pak Kallen yang punya BEC Pare, Kediri. Saat itu bilang, 'Kamu kursus ke tempatku,'. 'Nggak, males pak, antre katanya.' Pak Kallen bilang yang punya. Saya di Pare Kediri selama 6 bulan," kenang Hani.

Setelah dari Pare, Hani pun kembali berbakti kepada kampung halamannya. Baik anak-anak SD, SMP, remaja hingga orang tua diajari Bahasa Inggris secara gratis bagi warga 7 dusun, Desa Ngargogondo, Kecamatan Borobudur. Kemudian, mendirikan Desa Bahasa Borobudur.




(elk/aff)

Hide Ads