Bila kita mundur sejenak ke tahun 2019, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman kala itu, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan,Taman Nasional Komodo akan dijadikan destinasi wisata kelas premium. Luhut juga meminta pengelola menyiapkan 50 ribu tiket seharga USD 1.000 atau setara dengan Rp 14 juta untuk membership premium.
"Kita mau kelola dengan baik, (pulau) yang lain kita atur dan tata jadi wisata eksklusif. Yang penting Komodo kita atur terlindungi," kata Luhut pada Oktober 2019.
Baca juga: Labuan Bajo dan Citra Wisata Eksklusif |
Lantas, kenapa sih harga tiket masuk Komodo harus semahal itu?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada dengan Luhut, Direktur Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores, Shana Fatina, menyebut besarnya harga tiket masuk itu untuk menjaga kelestarian dari Komodo.
"Ya karena dia memang destinasi yang fragile," ujarnya.
Shana mengatakan dengan biaya yang ada saat ini, pengelolaan di Komodo tidak dapat berjalan secara maksimal.
"Dengan kondisi yang saat ini, pengelolaan Taman Nasional Komodo itu mengalami kendala biaya operasional, seperti untuk patroli yang rutin, kemudian untuk melakukan penelitian-penelitian, untuk melakukan konservasi, penghijauan segala macam, mereka nggak punya dananya karena memang cost-nya itu tinggi sekali," kata Shana.
Lebih lanjut Shana juga menjelaskan setiap pendapatan dari wisata Komodo itu nantinya akan digunakan untuk operasional sehingga mahalnya tiket tersebut juga akan dimanfaatkan untuk konservasi di Taman Nasional Komodo.
"Nggak semua area di Taman Nasional Komodo itu (dibanderol) dengan tiket membership yang mahal. Tapi, jadi ada dapat yang umum dimana itu nanti kita bagi. Sebenarnya dia juga (yang mahal) bukan tiket Taman Nasional ya tapi lebih ke membership fee. Jadi kayak sistem fund raising, kita mengumpulkan dana dari orang di seluruh dunia yang peduli sama Komodo. Terus dana itu akan dikembalikan untuk biaya operasional yang seperti tadi saya sampaikan, biaya operasional, biaya penelitian, biaya konservasi, dll. (Jadi) mensinergikan antara fungsi konservasi dengan pariwisata yang berkelanjutan," ia menerangkan.
Shana juga mengatakan bahwa selama ini promosi dari Taman Nasional Komodo ini belum secara maksimal menonjolkan destinasi tersebut sebagai cagar biosfer dan sebagai situs warisan dunia UNESCO. Ia menginginkan agar kawasan tersebut di-branding sebagai destinasi wisata yang ecofriendly.
"Ketika kita mendefinisikan status tersebut, otomatis implementasinya adalah management plan-nya mulai dari pengolahan sampahnya, pengelolaan manusianya, kemudian edukasi apa yang harus mereka dapat di sekolah. Jadi kalau di kami, isunya bagaimana menyasar SDM yang ada sekarang," ujar Shana.
Namun dalam mencapai wisata yang ecofriendly ini, masih ada sejumlah tantangan yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Ia mengatakan saat ini di Labuan Bajo (yang masuk dalam Kecamatan Komodo) memiliki 4.000 SDM pariwisata sementara kebutuhannya adalah 15.000 SDM.
"Pertama menyusun muatan lokal bersama stakeholder, ada NGO, ada komunitas, tentang konservasi dan pariwisata. Karena 40 persen anak di Labuan Bajo itu nggak pernah lihat komodo. Jadi kita ingin membuat mereka aware kalau mereka punya harta karun yang luar biasa," Shana menjelaskan.
Rencananya pendidikan mengenai pariwisata ini akan diimplementasikan melalui kampus, memperbanyak SMK, dan memasukkan muatan lokal mengenai pariwisata dan konservasi sejak SD.
"Ini penting, (agar) bahwa sejak mereka di sekolah dasar mereka punya pandangan bahwa kita ini adalah tuan rumah. Hospitality dibangun sebagai way of life mereka," katanya.
(pin/ddn)
Komentar Terbanyak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!