Ramadhan di Negeri Seribu Wali

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Ramadhan di Negeri Seribu Wali

Fahri Rizal - detikTravel
Sabtu, 23 Mei 2020 12:45 WIB
ilustrasi yaman
Ilustrasi Yaman ( Fahri Rizal/Istimewa)
Jakarta -

Bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa. Kehadirannya selalu dirindukan oleh seluruh umat islam di seluruh dunia. Tak terkecuali di negeri Yaman. Negara yang terkenal dengan julukan negeri seribu wali ini, memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri dalam meramaikan bulan suci Ramadhan.

Salah satu contohnya adalah di Tarim. Kota kecil yang memiliki 367 masjid ini ketika memasuki bulan ramadhan suasana keislamannya sangat terasa sekali. Masjid-masjid penuh dan sesak dengan solat berjamaah, orang-orang yang sibuk dengan tadarrus alquran, dan menghadiri halaqah (tempat pengajian) yang diadakan di zawiyah-zawiyah milik masyayikh dan Habaib Tarim. Dan salah satu keunikan yang ada di kota ini adalah jadwal solat tarawihnya diadakan secara berbeda satu sama lain.

Jadi, setiap masjid memiliki jadwal masing-masing. Ada yang memulainya pukul 21.00, seperti yang diadakan di masjid Jamal al-Lail, Masjid Sahl, dan Masjid al-Birr. Ada yang pukul 23.00, seperti di Masji Alawy, dan ada pula yang pukul 00.30 seperti yang diadakan di masjid Al-Muhdor. Sedangkan untuk Masjid Jami Tarim, yang merupakan pusat kegiatan keagamaan masyarakat setempat, baru memulainya pada pukul 01.30 dan berakhir pukul 02.30 waktu setempat.

Jadi, dalam semalam seseorang bisa melakukan shalat tarawih sampai 100 rakaat kalau ia mau dan mampu, karena Nabi Muhammad SAW sendiri juga tidak pernah membatasi jumlah bilangan rakaat tarawih. Hanya saja sejak masa Khalifah Umar Bin Khattab sampai pada masa para Imam Madzhab, tarawih dengan berjamaah di Masjid dilakukan dengan bilangan 20 rakaat dan ini yang berlangsung pula di Masjidil Haram dari masa Sahabat sampai sekarang. Sedangkan di Madinah dilakukan sebanyak 36 atau 46 rakaat ditambah 3 rakaat witir dan inilah madhazbnya Imam Malik. Sedangkan Habib Umar bin Hafidz sendiri mengambil 3 jadwal shalat Tarawih atau 60 rakaat.

Ini adalah kali ketiga saya menjalani ibadah puasa di Yaman. Namun ramadhan kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Ramadhan ditengah pandemi Covid-19 membuat suasana ritual keagamaan tidak sebebas dan sesakral dulu. Semua kegiatan terbatasi. Khususnya di kota Mukalla, kota dimana saya tinggal sekarang. Pemerintah setempat memberlakukan lockdown dalam sehari selama 12 jam.

Dimulai dari pukul empat sore sampai pukul 4 pagi. Akibat dari itu semua, akhirnya saya dan teman-teman mahasiswa yang lain hanya bisa berdiam diri di asrama kuliah. Ditambah dari piihak kuliahpun melarang kita berinteraksi dengan masyarakat luar dan juga tidak boleh pergi jalan-jalan kecuali masih di area kuliah. Jadi, kalau boleh dibilang hidup kita hanya sebatas antara asrama dan masjid saja. Namun begitu, bagi saya pribadi ini adalah pilihan terbaik dalam kondisi semacam ini.

Berbeda dengan di Tarim, kegiatanku dan teman-teman disini dimulai dari setelah solat dzuhur berjamaah, kita mengadakan Tahzib atau membaca al-quran secara berkelompok. Melingkar lima sampai tujuh orang. Dengan setiap dari kita membaca satu safhah dan yang lainnya menyimak sambil membetulkan jika ada bacaan yang salah.

Di waktu sore, setelah solat ashar berjamaah, kita mengikuti rouhah atau pengajian umum bersama Syeikh Salim bin Abu Bakar al-Haddar wakil rektor Imam Shafie College yang juga menjabat sebagai Qodhi di kota Mukalla. Membacakan kitab hadist Zaadu al-Muslim, Ihya' Ulumuddin, Jawaahirul Aqidain, Mawaaid Romadhaniyah min anfaasil 'Aliyah lil imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, kemudian ditutup dengan kitab Mamba'ul Imdad lil Habib Ahmad Masyhur bin Taha al-Haddad.

Lima belas menit sebelum maghrib, kita semua sudah berkumpul di dapur umum untuk bersiap-siap berbuka puasa bersama. Biasanya kita buka puasa dengan kurma kemudian dilanjut solat maghrib berjamaah. Di sini, buka puasa tidak boleh langsung dengan nasi. Cukup dengan makanan yang ringan-ringan saja seperti kurma, roti bakhomri, batotis, atau sambosa.

Sekitar pukul 19.15 solat isya dimulai dilanjut tarawih sampai pukul 20.30 waktu setempat. Setelah itu disusul ngaji Tafsir jalalain dengan guru kita tercinta Syaikh Abdullah Balfagih. Penjelasan yang singkat namun penuh makna adalah ciri khas beliau. Semua santri khusyuk mendengarkan dan mencatat setiap faidah-faidah penting yang disampaikan oleh beliau. Baru pukul pukul 21.30 pengajian selesai.

Disitulah kita bisa sejenak beristirahat. Ada waktu sekitar satu jam setengah. Saya gunakan untuk makan malam dan istirahat. Tepat pukul 23.00 solat tarawih kedua dimulai. Jadi, dalam semalam kita melakukan solat tarawih 40 rakaat. Untuk tarawih kedua ini, mahasiswa tingkat akhirlah yang menjadi imamnya. Setiap hari bergilir sesuai absen. Termasuk saya juga mendapat giliran.


Bagi saya ini adalah kegiatan yang sangat positif. Selain untuk melatih mental kita juga sebagai bekal ketika pulang ke tanah air nanti. Kemudian setelah solat witir selesai ditutup dengan pembacaan qashidah Al-Fazzaziyah, dan Al-Qawafi. Setiap malam satu qasidah dengan dibacakan oleh 2 seorang munsyid. Pembacaan Qashidah ini biasanya diadakan di masjid Balawy kota Tarim dan konon sudah berlangsung sejak berabad-abad silam sampai sekarang.

Kegiatan tidak berhenti sampai situ, kita masih harus mengikuti kegiatan murojaah sampai jam satu atau setengah dua pagi. Kita harus mengulang materi-materi yang sudah kita pelajari di tingkat sebelumnya. Setiap hari ada sekitar seratus halaman yang harus kita pahami dan hafal. Kenapa harus hafal? Karena kita nantinya ditanya satu persatu oleh Ustadz atau penanggung jawab kegiatan ini. Setiap dari kita akan diberi maksimal 3 pertanyaan, jika tidak dapat menjawab atau jawabannya ada yang kurang, maka
terpaksa harus berdiri sampai akhir kegiatan dan siap dipukul tangannya dengan kayu rotan.

Setelah murojaah selesai barulah kita bisa rehat kembali. Ada yang memilih tidur, ada yang beriktikaf di masjid sambil nderes al-quran, ada yang duduk ngobrol sambil ngopi di baqolah kuliah, ada pula yang memilih rebahan sambil mainan HP. Berselancar di media sosial sambil menunggu waktu sahur. Diwaktu subuh, kita solat berjamaah kemudian membaca wirid bersama sampai sekitar jam setengah enam pagi. Setelah itu baru kita istirahat, meraih mimpi dan tidur.

Begitulah sedikit cerita tentang puasa ramadhanku kali ini. Meskipun tidak semenarik di Tarim, namun setidaknya saya tetap merasa bahagia dan bersyukur sekali bisa menjalani ibadah puasa tahun ini dengan kegiatan terjadwal semacam ini dan juga dengan orang-orang yang sungguh luar biasa tentunya (para habaib dan guru-guru di sini).

Ah, Saya kadang merasa iri dan malu dengan beliau-beliau yang semangatnya masyaa Allah sekali. Tidak pernah saya lihat beliau kecuali beliau sedang baca quran atau baca-baca kitab di maktabah kuliah. Merekalah ulama sejati. Hidupnya sepenuhnya untuk mengabdi kepada ilmu dan para pencari ilmu. Semoga Allah selalu menjaga dan memanjangkan umur mereka semua.


Fahri Rizal
Mahasiswa S1 Imam Shafie College
Anggota Persatuan Pelajar Indonesia di Yaman


Para pembaca detikcom, bila Anda juga mahasiswa Indonesia di luar negeri dan mempunyai cerita berkesan saat Ramadhan, silakan berbagi cerita Anda 300-1.000 kata ke email: ramadan@detik.com cc abdulfatahamrullah@ppi.id, dengan subjek: Cerita PPI Dunia. Sertakan minimal 5 foto berukuran besar karya sendiri yang mendukung cerita dan data diri singkat, kuliah dan posisi di PPI.



Travel Highlights
Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detikTravel
Ramadhan di Negeri Orang
Ramadhan di Negeri Orang
18 Konten
Ada kalanya traveler harus menghabiskan waktu Ramadhan di negeri orang. Entah untuk keperluan belajar atau pekerjaan.
Artikel Selanjutnya
Hide Ads