"Dalam dua generasi bisa hilang kalau tidak dilestarikan. Harga ulos sekarang ini di bawah harga benang, makanya tidak ada lagi yang membuat ulos," ujar antropolog Sandra Niessen dalam workshop kain ulos di sela Festival Danau Toba 2013 di Bukit Beta, Samosir, Selasa (10/9/2013) sore.
Pernyataan di atas dibuat Sandra bukan tanpa alasan. Wanita kelahiran Kanada, 17 November 1954 itu merupakan penulis buku 'Legacy in Cloth, Batak Textiles of Indonesia'. Buku tersebut ditulisnya setelah sebelumnya dia menulis tesis untuk gelar PhD dengan judul 'Motifs of Life in Toba Batak Texts and Textiles'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Antropolog yang memiliki darah Belanda ini kemudian merasa punya utang budi dengan para penenun ulos yang sudah banyak membantunya selama menulis tesis. Setelah bukunya terbit, dia pun memutuskan kembali ke Indonesia untuk memberikan hasil karyanya itu kepada para penenun pada 2010. Misi kedatangannya ke Indonesia ini dinamainya 'Pulang Kampung'.
Misi Pulang Kampung yang dijalani Sandra ini ternyata tidak sesuai harapannya. Begitu tiba di tanah Batak, dia melihat sudah tidak ada lagi penenun ulos seperti saat dia meneliti dulu. Kampung-kampung tempat tinggal penenun ulos yang dulu jadi obyek penelitiannya kini sepi, kosong dan terlantar.
"Saya lihat dibutuhkan keterampilan tinggi dalam Ulos Batak. Saya sedih kalau ini hilang. Sedih penenun tidak dianggap sebagai seniman," ujarnya.
Sandra melihat kini orang Batak justru tidak menenun Ulos khas daerahnya sendiri. Mereka lebih memilih menenun kain yang memenuhi selera pasar. Tak hanya itu saja, orang-orang berhenti menenun karena pekerjaan tersebut dianggap tak lagi bisa menanggung biaya kebutuhan sehari-hari.
Kain Ulos khas Batak dengan proses pembuatan yang detail, menurut Sandra, kini tidak lagi banyak dijumpai. Kain-kain ini justru banyak dimiliki oleh para kolektor asing. Salah satu kolektor itu adalah seorang wanita asal Australia, Stephanie Belfrage.
Stephanie membaca tentang misi Pulang Kampung Sandra yang ditulis di blog. Dia pun langsung menghubungi antropolog itu. Wanita tersebut mengaku memiliki banyak kain ulos yang dibelinya pada tahun 1970-1980-an. Dia ingin mengembalikan kain-kain tersebut ke tanah aslinya karena merasa sudah cukup lama menyimpannya.
Stephanie merelakan 17 kainnya untuk dibawa Sandra pulang kampung ke Tanah Batak. Di usia senjanya dia ingin tinggal di rumah yang tidak terlalu besar, sehingga tidak ada banyak tempat untuk kain berharga itu. Oleh Sandra kain-kain tenun Batak ini kini dipercayakannya pada Museum Tekstil.
Bagi Sandra, kain ulos memiliki keistimewaan tersendiri. Menurutnya para penenun yang ditemuinya saat dia menulis tesis, bukan hanya melakukan pekerjaannya tapi juga menghasilkan sebuah budaya. Hasil karya mereka bisa bercerita tentang sejarah.
Saat ini berkat buku Sandra tersebut, sudah ada penenun yang kembali membuat ulos seperti penenun zaman dahulu. Para penenun di Muara tergerak untuk menghasilkan tenunan yang dibuat dengan sepenuh hati seperti sebuah proses meditasi. Dalam workshopnya, Sandra mengatakan bukunya atau tesisnya dibuat bukan untuk melestarikan tenun Batak. Dia hanya melakukan riset, menganalisa dan memberikan informasi.
"Melestarikan ini tugas orang Batak," pungkasnya.
(aff/aff)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum