Untuk Wisata Halal, Ini 3 Masalah Indonesia Kalah dari Malaysia

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Untuk Wisata Halal, Ini 3 Masalah Indonesia Kalah dari Malaysia

Wahyu Setyo Widodo - detikTravel
Rabu, 23 Mar 2016 16:30 WIB
Arief Yahya dan jajarannya menerima sertifikasi GMTI dari Crescent Rating (Wahyu/detikTravel)
Jakarta - Indonesia memang masuk dalam 5 besar destinasi Muslim terbaik menurut GMTI, namun masih kalah dengan Malaysia, UAE dan Turki. Menpar pun mengungkap 3 masalah utama kenapa itu bisa terjadi.

Dalam acara jumpa pers peluncuran GMTI oleh lembaga Crescent Rating bekerja sama dengan Master Card di Hotel Pullman Jakarta, Menpar Arief Yahya mengungkapkan hal ini. Setidaknya ada 3 masalah besar yang dihadapi oleh para pelaku bisnis wisata di Indonesia terkait wisata halal.

Yang pertama adalah soal kurang diliriknya potensi wisata halal untuk pasar traveler Muslim. Padahal potensinya sangat besar. Menurut Fazal Bahardeen, CEO Crescent Rating, di tahun 2020 proyeksi pertumbuhan traveler Muslim akan mencapai 168 juta orang, itu setara dengan nilai perputaran uang sebesar USD 250 Milyar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Potensi wisata halal sangat besar. Jumlahnya melebihi pasar China. Ini seharusnya lebih dilirik lagi," ujar Arief saat memberi sambutan, Rabu (23/3/2016).

Masalah kedua adalah soal 3 kriteria penilaian dari Crescent Rating untuk GMTI yang kurang disadari oleh para pelaku usaha pariwisata. Ketiga kriteria itu antara lain, menghadirkan destinasi, fasilitas, serta marketing dan awareness yang terbaik bagi traveler Muslim yang berwisata ke Indonesia.

"Sekali lagi, wisata halal ini bukan tentang agama. Tak peduli apapun agama Anda, yang memberikan pelayanan terbaik, destinasi terbaik, pasti akan memenangkan persaingan," tegas Arief.

Terakhir, Menpar Arief Yahya menyoroti tentang kurang sensitifnya Indonesia terhadap wisata halal. Arief menyebut itu karena sudah defaultnya Indonesia itu halal, jadi tidak perlu untuk di standarisasi. Padahal standarisasi itu penting bagi traveler muslim dari negara lainnya.

"Kenapa kita tidak sensitif? itu karena pada umumnya Indonesia itu halal. Kita tidak mungkin kan menulis halal di dalam rumah kita sendiri? Di sisi lain, kita harus sensitif karena pasar menginginkannya. Indonesia harus distandarisasi, lakukan sesuai dengan keinginan pasar. Jangan sesuai keinginan sendiri padahal market berharap ada standarisasi," tutup Arief.

(wsw/shf)

Hide Ads