Dari rilis PT Freeport Indonesia yang diterima detikTravel, Selasa (19/4/2016) seorang pendaki sekaligus karyawan PT Freeport Indonesia atas nama Erik Airlangga meninggal dunia saat mengikuti kegiatan pendakian Carstensz bersama sejumlah karyawan lain yang berjumlah 32 orang. Mereka melakukan perjalanan dari hari Kamis (14/4).
Di hari Mingu (17/4) Erik sempat menadapat pertolongan pertama dari tim Emergency Preparedness & Reponse (EP&R) PT Freeport Indonesia. Sayang nyawa Erik tidak tertolong hingga menghembuskan nafas terakhir. Kini, jenazah sudah dipulangkan ke kampung halamannya di Tasikmalaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah tiba di Basecamp Danau-danau dan akan melanjutkan summit attack (istilah untuk perjalanan ke puncak gunung), bahaya lainnya pun mengintai. Yang dikhawatirkan paling utama, adalah soal hiportemia, yakni kondisi di mana tubuh kesulitan mengatur suhu dari suhu luar yang lebih rendah atau dingin.
Suhu di Basecamp Danau-danau, kamp terakhir sebelum Puncak Carstensz yang mencapai 1 derajat Celcius! (Afif/detikTravel)
"Begini, sebenarnya hiportemia dapat terjadi di mana saja, tidak hanya di gunung tapi di pantai juga bisa. Tentu di sekitar Puncak Carstensz suhunya lebih ekstrem, lebih dingin yang mampu mencapai minus derajat Celcius. Sesama pendaki, kita wajib tahu gejala-gelajanya," terang Ardeshir.
Paling mudah, gejala hiportemia yang pertama kali terlihat adalah badan yang mengigil. Apalagi jika mengigilnya sudah hebat dan badan benar-benar lemas. Langkah yang harus dilakukan, segera pakaikan jaket atau penghangat badan lainnya.
Saking dinginnya di sana, ada salju! (Afif/detikTravel)
"Mengigil adalah kondisi di mana tubuh membakar kalori agar menjaga suhu badan tetap hangat. Kalori yang berasal dari dalam tubuh itu berasal dari makanan. Maka saat itu, harus makan agar terus memberi kalori di dalam tubuhnya," tegas Ardeshir.
Namun, tak sedikit orang yang sudah mengigil menjadi malas makan. Badan rasanya sangat lelah dan ingin langsung tidur saja. Itulah yang menurut Ardeshir sangat berbahaya, karena saat dia tidur tubuhnya tak punya lagi kalori yang dibakar dan tak mampu menghangatkan suhu badan. Di saat itulah, ajal dapat menjemput.
"Ada dua sumber panas untuk menghangatkan badan kita, yaitu dari dalam badan dan dari luar. Dari luar, adalah dari api unggun atau jaket. Dari dalam, adalah makanan. Makanan paling penting," urai Ardeshir.
Selanjutnya selain hiportemia, adalah badai salju. Ardeshir sebenarnya mengakui, dirinya belum pernah mengalami badai salju. Paling parah yang dia alami adalah badai angin yang sangat kencang.
"Ini yang harus kita ingat, Carstensz itu adalah alam liar yang sangat liar. Setahu saya, badai salju di Carstensz jarang sekali terjadi kalau pun terjadi artinya sudah masuk kategori Force Majeur. Kita harus selalu waspada," ujar Ardeshir.
Maka sebelum naik ke Puncak Carstensz, para pendaki harus membekali diri dulu dengan ilmu pendakian gunung. Tak terkecuali, soal badai salju dan suhu yang ekstrem karena cuaca di sana sangat sulit ditebak yang mampu berubah sewaktu-waktu.
"Ketika orang bertanya kepada saya kapan waktu terbaik naik ke Carstensz, jujur saya nggak bisa jawab. Cuaca di sana sulit diprediksi," katanya.
Pendakian ke Puncak Carstens dengan menggunakan tali (Afif/detikTravel)
Terkahir adalah soal batu-batu yang jatuh. Saat pendakian yang sudah menggunakan alat panjat tebing dengan teknik ascending dan descending, pendaki akan berpijak di bebatuan krikil. Ketika itulah, kaki harus pintar-pintar melangkah agar tidak longsor mengenai pendaki yang lain. Itu dapat menyebabkan cedera.
"Terakhir, di puncak jangan lama-lama. Pukul 12.00, harus sudah turun kalau bisa. 'Jam alam' Carstensz, biasanya lewat pukul segitu, kabut sudah tebal dan angin kencang. Jika sudah malam, bahaya juga kita melangkah dan turun pakai tali," ungkap Ardeshir.
Pria yang sudah mendaki 5 puncak dari 7 puncak Seven Summit dunia ini terakhir berpesan, pendaki yang mau mencapai Puncak Carstensz harus mempersiapkan pengetahuan, peralatan dan fisik dengan maksimal. Sesama pendaki pun harus memiliki kesadaran diri, untuk sama-sama saling mengetahui kondisi. Keselamatan adalah yang nomor satu.
"Naik gunung bukan untuk mengejar puncaknya. Naik gunung, adalah bagaimana kita bisa kembali selamat sampai ke rumah," pungkas Ardeshir.
Plang Puncak Carstensz di ketinggian 4.884 mdpl (Afif/detikTravel)
(aff/aff)
Komentar Terbanyak
Kronologi Penumpang Lion Air Marah-marah dan Berteriak Ada Bom
Penumpang Pria yang Bawa Koper saat Evakuasi Pesawat Dirujak Netizen
Koper Penumpangnya Ditempeli Stiker Kata Tidak Senonoh, Transnusa Buka Suara