Sebanyak 34 gunungan hasil bumi yang dijejer di halaman Balai Desa Panongan Lor, Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon. Itu sesuai dengan usia desa saat ini, yakni 34 tahun.
Gunungan hasil bumi itu terdiri kacang panjang, sawi, salak, jeruk, dan lainnya. Tradisi sedekah bumi menjadi bagian penutup rangkaian hari jadi Desa Panongan Lor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"80 persen masyarakat sini petani. Paling banyak padi, kemudian ada sayur-sayuran dan buah-buahan seperti mangga dan salak," kata Agus usai merayakan tradisi sedekah bumi, Sabtu (31/8/2019).
Gunungan hasil bumi dan nasi tumpeng yang dikumpulkan di halaman Balai Desa Panongan Lor itu berasal dari masyarakat. Salah satu gunungan menyita perhatian masyarakat, lantaran berbentuk seperti naga. Ya, hewan mitologi yang berbentuk seperti ular raksasa. Tingginya sekitar satu meter.
Masyarakat desa melingkari 34 gunungan hasil bumi dan nasi tumpeng. Sebelum diperebutkan masyarakat, tokoh agama setempat memimpin doa bersama dan tahlilan.
![]() |
"Kita minta keberkahan kepada Yang Maha Kuasa. Harapannya agar masyarakat diberikan kesehatan dan kemudahan jalan untuk memajukan ekonomi masyarakat, serta kesejahteraan masyarakat desa kami," ucap Agus.
Agus menyebut tradisi sedekah bumi sudah dilakukan sejak pertama kali Desa Panongan Lor berdiri. Desa Panongan Lor sebelumnya menjadi bagian Desa Panongan, kemudian memilih pemekaran pada tahun 1985 silam.
"Sebelumnya kita sudah menggelar hiburan masyarakat, kemudian kreativitas anak muda sini. Nah, sedekah bumi ini puncak acara hari jadi Desa Panongan Lor," katanya.
![]() |
Ada jejak pengabdi Kesultanan Cirebon
31 Agustus 1985 lalu, Panongan Lor resmi menjadi sebuah desa. Panongan Lor bagian dari pemekaran Desa Panongan, Kecamatan Sedong. Sekretaris Desa (Sekdes) Desa Panongan Lor Masjudin mengatakan Panongan memiliki makna meneropong. Nama Panongan tak terlepas dari sejerah desa tersebut.
"Asal katanya 'Noong', Bahasa Sunda yang artinya mengintip atau meneropong. Kemudian disebut sebagai Panongan," kata Masjudin.
Masjudin menjelaskan sejarah singkat desa tersebut. Menurut Masjudin, dalam naskah Babad Cirebon, nama Panongan itu bermula ketika salah seorang pengagum atau pengabdi Kesultanan Cirebon, yang belum diketahui namanya pergi mengembara. Kemudian sampai di salah satu lokasi yang berada di Desa Panongan, yakni Cangkup.
"Dari wilayah Cangkup itu, pengembara itu selalu menyempatkan diri ke daerah Mungkal sebelum berkelena ke luar dari wilayah Cangkup. Mungkal ini nama batu yang menghimpit dua pohon besar," katanya.
Masjudin menyebutkan pengembara tersebut selalu menaiki dua pohon besar yang terhimpit batu mungkal. Nama pohonnya penggung dan putat.
BACA JUGA: Batu Lawang, Wisata Alam Ngehits dari Cirebon
Sang pengembara memanfaatkan ke dua pohon yang tinggi menjulang itu dijadikan sebagai tempat peneropongan. Itu untuk melihat kondisi di wilayah yang dituju, baik ke arah barat, timur, selatan maupun utara.
"Dia naik ke pohon untuk melihat wilayah yang bakal dituju. Tempat itu dijadikan sebagai peneropongan, kemudian masyarakat menyebut pohon itu panoongan, atau panongan yang sekarang jadi nama desa," katanya.
Masjudin mengaku hingga saat ini masih mencari detil-detil peninggalan atau naskah yang menjelaskan tentang sejarah desanya. Bahkan, lanjut dia, pengembara yang dikisahkan dalam cerita tersebut masih belum diketahui namanya.
"Ya kita masih mencari namanya, di buku hanya disebut seorang pengembara. Kita sudah beberapa kali kajian," katanya.
(msl/aff)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol