3 Syarat Utama untuk Membangun 10 Bali Baru

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

3 Syarat Utama untuk Membangun 10 Bali Baru

Johanes Randy Prakoso - detikTravel
Rabu, 30 Okt 2019 17:15 WIB
Ilustrasi Danau Toba, 1 dari 10 Bali Baru (Kementerian PUPR)
Jakarta - Tugas membangun 10 Bali Baru kembali dimandatkan Jokowi ke sejumlah menteri dan wakil menteri di kabinet Kerja Jilid II. Ada 3 syarat utama yang diperlukan.

Sejak dimandatkan oleh Presiden Jokowi, Kementerian Pariwisata telah bekerja sejak masa mantan Menpar Arief Yahya. Dalam membangun 10 Bali Baru, Arief pun punya semboyan 3A yang terdiri dari Atraksi, Akses, Amenitas.

Dibahas dalam diskusi Tourism and Community Empowerment: Critical Insight from Indonesia di @america, Mall Pacific Place, Jakarta Pusat, Selasa malam (29/10/2019), pendekatan yang dilakukan Arief Yahya itu disebut oleh Dosen IPB jurusan rekreasi alam dan ekowisata, Eva Rachmawati sebagai upaya top down approach atau dari atas ke bawah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diskusi Tourism and Community Empowerment: Critical Insight from Indonesia di @america, Mall Pacific PlaceDiskusi Tourism and Community Empowerment: Critical Insight from Indonesia di @america, Mall Pacific Place (Randy/detikcom)

Merujuk pada pendekatan Eva, tugas utama Pemerintah untuk membangun pariwisata di 10 Bali Baru yang dalam hal ini diwakili oleh sejumlah kementerian masih terbatas pada pembangunan atraksi (tempat wisata), akses (jalan/bandara) dan amenitas (akomodasi/fasilitas pendukung).

Hanya dari 3A tersebut, peran serta masyarakat di lokasi wisata masih belum muncul. Padahal, membangun pariwisata di suatu daerah tak terbatas hanya 3A tersebut.

"Ada tiga aspek dari sebuah tempat wisata, pengunjung, tempat dan host atau tuan rumah. Objek bagus apakah community-nya ready atau gak, mau gak? Kalau mau syaratnya begini," ujar Eva.


Ada faktor penting lain berupa community atau masyarakat sekitar tempat wisata yang turut mendukung sebuah tempat wisata. Menghadirkan pariwisata di sebuah tempat yang tidak siap bukan hanya beresiko gagal, tapi juga menimbulkan efek negatif bagi masyarakat yang tidak siap.

"Tidak semua masyarakat punya kesiapan. Demand ada gak yang minta sama lokasi itu?" ujar Eva.

Narasumber lain, Sarani Piktor Pakan yang merupakan periset antropologi juga mengisahkan risetnya akan hubungan antara manusia dan ombak serta hubungannya dengan wisata selancar di Mentawai, Nias.

Perkembangan wisata surfing di Mentawai yang sudah populer di dunia ternyata juga menimbulkan efek negatif bagi para anak muda di daerah tersebut. Faktanya, ada sisi lain dari pariwisata pada masyarakat setempat.

"Bagaimana pun dampak negatif dari tourism adalah warga lokal yang akan merasakan. Perlu combine approach. Gak semua daerah jadi tempat wisata. Pariwisata harusnya turun dari bawah, bahkan dalam hal harus ada inisiatif dari warganya yang ingin pariwisata di daerahnya sendiri," ujar Sarani.

Pemerintah yang menggunakan pendekatan top down pun juga tak bisa serta merta memaksakan industri pariwisata, sebut saja di 10 Bali Baru yang belum menganut kesiapan pariwisata seperti Bali.

Bagaimana pun, pengembang atau investor harus 'bertamu' pada masyarakat setempat dan bekerja sebagai mitra untuk bersama-sama membangun destinasi wisata. Bukan serta merta datang, membangun dan mengabaikan kearifan masyarakat lokal.

"Kita orang luar harus berpikir seperti mereka (masyarakat di destinasi wisata), bukan datang, kontrol ngatur-ngatur," ujar Sarani.

Bicara pariwisata, memang perlu melibatkan seluruh stakeholder pariwisata. Selain untuk keberlangsungan suatu destinasi wisata, juga untuk kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata di tempat wisata.




(rdy/rdy)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads