Selandia Baru Bebas COVID, Tak Lepas dari Warganya

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Selandia Baru Bebas COVID, Tak Lepas dari Warganya

Johanes Randy Prakoso - detikTravel
Selasa, 09 Jun 2020 20:24 WIB
Cerita warga dari Selandia Baru.
Ilustrasi warga Selandia Baru (Tourism New Zealand)
Auckland -

Pada Senin kemarin Selandia Baru mengumumkan bebasnya negara tersebut dari COVID-19. Fakta itu tak lepas dari partisipasi warganya saat lockdown.

Senin kemarin (08/06), Kementerian Kesehatan Selandia Baru umumkan tidak ada kasus kasus positif COVID-19 di negara tersebut. Satu kasus terakhir, yakni seorang perempuan asal Auckland berusia di atas 50 tahun, telah bebas dari gejala COVID-19 selama 48 jam terakhir dan telah dinyatakan sembuh. Dia pun telah diperbolehkan meninggalkan fasilitas isolasi.

Tentunya kabar ini menjadi "berita yang sangat baik" dan menjadi sebuah pencapaian bagi Selandia baru, ungkap Dirjen Kesehatan Kementerian Kesehatan Selandia Baru, Ashley Bloomfield dilansir kantor berita DPA.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tidak memiliki kasus baru sejak 28 Februari merupakan pencapaian terbesar dalam perjalanan kami, tapi tentu saja seperti yang kami sampaikan sebelumnya kewaspadaan akan COVID-19 tetap menjadi yang utama," ujar Bloomfield.

Diketahui, berita membahagiakan itu tak lepas dari warganya yang saling bahu membahu saat momen Lockdown yang lalu. Pihak Tourism New Zealand pun membagikan tiga kisah menarik dari warga setempat. Dilihat detikcom, Selasa (9/6/2020), berikut adalah beberapa kisahnya:

ADVERTISEMENT

Fotografer dari Rakiura

Adalah Laire Purik, seorang fotografer wanita Estonia yang kini tinggal di Rakiura. Sehari-hari, Laire rutin mendokumentasikan alam beserta isinya. Namun, Lockdown yang terjadi di Selandia Baru membuatnya alih profesi mendokumentasikan keseharian warganya.

Cerita warga dari Selandia Baru.Laire Purik dan anjing peliharaannya (Tourism New Zealand)

Tidak dapat pergi ke alam seperti biasa, Laire malah membuat sebuah proyek foto bernama Copeisolation. Isinya merupakan foto-foto perseorangan yang Lair potret di sekitar tempat tinggalnya.

"Itu mengubah perlakuanku ke orang-orang. Semua orang mempunyai cerita bagaimana mereka beradaptasi. Pulau kecil ini makin terbuka untukku," ujar Laire.

Lockdown malah membuat Lair lebih mengenal warga di komunitasnya melalui bidikan kameranya. Laire pun jadi lebih menghargai koneksi antar manusia yang dibangunnya.

"Setiap orang yang saya foto adalah individual dengan cerita mereka. Hal itu membuat saya merasa lebih terhubung," tutup Laire.

Pemimpin paduan suara Christchurch

Sebelum Lockdown diberlakukan di Selandia Baru, pemimpin paduan suara Nikki Berry mungkin tak dapat menduga akan hal yang terjadi. Momen sebelum Lockdown, Nikki sibuk mengajak murid-muridnya yang mayoritas berusia lansia untuk berlatih secara offline.

Namun, gap teknologi membuat para lansia murid Nikki yang berasal dari Christchurch mengalami kesulitan untuk berlatih menyanyi. Hanya saja, Nikki bersama temannya, Gary Esterbrook, menjangkau para lansia satu per satu dan memandu mereka menggunakan teknologi untuk menyanyi.

Baik sebelum atau saat Lockdown, Nikki menyadari kalau para lansia adalah golongan yang paling rentan akibat isolasi. Oleh sebab itu, melalui Musik Nikki membangkitkan kembali semangat para lansia.

"Kami menyadari, kalau orang tua berada dalam bahasa dan terisolasi secara sosial. Saya ingin membuat paduan suara untuk semua orang," ungkap Nikki.

Menggunakan Zoom, para lansia muridnya ternyata dapat beradaptasi dengan cepat. Selain menyanyi bersama secara online, para lansia juga dapat mengungkapkan keresahannya yang tinggal seorang diri.

"Para lansia menceritakan semua permasalahan mereka, sehingga kita tahu kalau salah satunya memiliki suami di rumah dengan penyakit Alzheimer atau tengah berjuang melawan penyakit. Ini benar-benar menjadi jaringan dukungan yang luar biasa untuk orang-orang," ujar Nikki.

Hanya bagi Nikki, hasil rekaman suara bukan lah yang terpenting. Yang utama adalah bagaimana para anggotanya dapat membuka pintu rumah mereka dan berbagai secara online.

"Normalnya, orang-orang terlalu malu akan situasi yang membuat mereka terintimidasi. Namun, momen kedekatan mereka menghadirkan keintiman yang belum pernah terjadi sebelumnya," pungkas Nikki.

Dokter hewan sukarelawan dari Waiheke

Di umurnya yang ke-40, dokter hewan Bryan Gartrell telah banyak membantu merehabilitasi binatang dari Macan Siberia hingga macan tutul salju. Namun, Lockdown yang terjadi di Selandia Baru membawanya menjadi seorang dokter hewan sukarelawan di Pulau Waiheke.

Bersama dengan tetangganya Lorraine dan anak laki-lakinya Sam, mereka membuat sebuah klinik hewan darurat. Lockdown pun tak membuat mereka berhenti menolong hewan-hewan.

"Ketika Lockdown, pekerjaan itu tidak berhenti. Kami tidak bisa begitu saja mengatakan tidak bekerja," ujar Bryan.

Di momen Lockdown, Bryan pun kerap duduk di deknya sambil memantau burung-burung dan fauna di sekitar. Tak jarang ia membantu binatang yang ada di sekitarnya.

"Kami harus memperhatikan spesies tersebut, jika tidak mereka akan punah," jelas Bryan.

Selama Lockdown, tak jarang Bryan mendapat cerita dari warga sekitar yang jadi lebih peduli pada burung di sekeliling mereka. Lockdown sebulan telah membuat para warganya jadi lebih santai dan lebih peduli pada sekeliling mereka.

"Ini merupakan titik awal. Saya harap apresiasi itu tetap tinggal," cerita Bryan.

Itulah tiga kisah inspiratif dari warga Selandia Baru yang bisa diteladani. Di tengah kebijakan Lockdown, mereka tetap mentaati aturan sambil tetap berbuat kebaikan bagi lingkungan dan orang di sekelilingnya. Dalam mengatasi COVID-19, memang dituntut peran serta dan tanggung jawab setiap warganya.


Hide Ads