Dua Pertiga Satwa Liar Punah Sejak 1970, karena Ulah Kita

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Dua Pertiga Satwa Liar Punah Sejak 1970, karena Ulah Kita

Ahmad Masaul Khoiri - detikTravel
Minggu, 13 Sep 2020 11:05 WIB
Satwa Liar di Pulau Peuncang, Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Taman Nasional Ujung Kulon terletak di bagian paling barat Pulau Jawa, Indonesia. Kawasan Taman nasional ini juga memasukan wilayah Krakatau dan beberapa pulau kecil disekitarnya seperti Pulau Handeuleum dan Pulau Peucang. File/detikFoto
Foto: Agung Pambudhy
Gland, Swiss -

Sekitar dua pertiga satwa liar di dunia telah punah. Itu akibat aktivitas manusia semenjak tahun 1970.

Diberitakan CNN, Minggu (13/9/2020) populasi satwa liar dunia telah turun rata-rata 68% hanya dalam empat dekade. Kita, manusia yang konsumtif ada di belakang penurunan yang menghancurkan ini, kata World Wildlife Fund (WWF) dalam laporan terbarunya.

Living Planet Report 2020, menyebut adanya penurunan populasi yang terlihat di lebih dari 4.392 spesies. Di dalamnya ada mamalia, burung, ikan, reptil, dan amfibi yang dipantau antara tahun 1970 sampai 2016.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Laporan tersebut mengatakan bahwa jenis populasi satwa liar yang menurun tajam di bumi telah terlihat dalam beberapa dekade terakhir tidak terlihat selama jutaan tahun.

Wilayah Amerika Latin dan Karibia adalah wilayah yang terparah terkena dampak di dunia, dengan penurunan rata-rata 94%, kata laporan itu.

ADVERTISEMENT

Konversi habitat padang rumput, sabana, hutan dan lahan basah, eksploitasi berlebihan satwa liar, pengenalan spesies non-asli dan perubahan iklim adalah pendorong utama penurunan tersebut.

Kita telah mengubah secara signifikan 75% lanskap permukaan tanah bebas es di planet ini, kata para penulis.

Dan menurut WWF, perusakan ekosistem sekarang mengancam sekitar 1 juta spesies, 500.000 hewan dan tumbuhan dan 500.000 serangga. Kepunahannya hanya dalam dekade dan abad mendatang.

Meski fakta-fakta ini sangat mengerikan, para ahli mengatakan bahwa tren penurunannya dapat dihentikan dan bahkan dibalikkan dengan tindakan sesegera mungkin. Contoh, mengubah cara kita memproduksi dan mengonsumsi makanan, mengatasi perubahan iklim dan melestarikan alam.

Para ahli mengatakan bahwa keanekaragaman hayati atau satwa liar air tawar menurun paling cepat. Data menunjukkan bahwa 85% lahan basah global telah hilang sejak Revolusi Industri.

Warga beraktifitas jual beli di Pasar Rakyat Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Rabu (30/03/2017). Tingginya tingkat konsumsi masyarakat Atambua terhadap ikan, maka kebutuhan masyarakat akan ikan  tinggi pula. Berbagai jenis ikan segar dijual disini . Nusa Tenggara timur diyakini mempunyai potensi alam dan pasar yang bagus untuk budidaya ikan air tawar dan ikan laut. Pedagang ikan akan dengan ramah dan murah senyum melayani pembeli, di pasar rakyat ini kita bisa melihat aneka kekayaan bahari di Belu yang dijual para pedagang. Mereka ramah dan tidak ragu memamerkan ikan segar yang mereka punya.Ilustrasi ikan, aktivitas jual beli di Pasar Rakyat Atambua, kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (Foto: Grandyos Zafna/detikcom)

Populasi mamalia air tawar, burung, amfibi, reptil dan ikan yang dipantau telah turun rata-rata 4% setiap tahun sejak 1970, menurut laporan tersebut.

"Penurunan paling dramatis terjadi di air tawar," Rebecca Shaw, kepala ilmuwan WWF.

"Kami melihat penurunan yang sangat mencolok dalam ekosistem air tawar, sebagian besar karena membendung sungai dan juga karena penggunaan sumber daya air tawar untuk memproduksi makanan guna memberi makan populasi orang yang terus bertambah di seluruh dunia," katanya.

"Untuk memberi makan, bahan bakar, gaya hidup abad ke-21 kita, kita menggunakan energi bumi secara berlebihan setidaknya 56%," kata dia.

WWF memperingatkan bahwa hilangnya keanekaragaman hayati ini mengancam ketahanan pangan dunia.

Para ahli mengatakan bahwa perubahan iklim belum menjadi penyebab terbesar hilangnya keanekaragaman hayati. Namun, di tahun-tahun mendatang, perubahan iklim akan menjadi pendorong utama penurunan spesies kecuali para pemimpin dunia segara mengambil tindakan.

"Saat permukiman manusia meluas ke tempat yang dulunya tempat satwa liar, kita menghancurkan populasi suatu spesies. Kita juga memperburuk perubahan iklim dan meningkatkan risiko penyakit zoonosis seperti COVID-19," kata Presiden dan CEO WWF-AS, Carter Roberts, dalam sebuah pernyataan.

(msl/ddn)

Hide Ads