Pasrah. Itulah kata-kata yang dirasakan oleh para pemandu wisata. Perbatasan ditutup, sementara Kawah Ijen koma tanpa turis.
Melalui Road Trip Jakarta-Bali, detikTravel mampir ke Kawah Ijen di Banyuwangi. Blue Fire sang primadona Indonesia kini tampak sepi di tengah pandemi.
Hal ini diakui oleh Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas. Kebanyakan yang datang ke Kawah Ijen adalah wisatawan mancanegara. Imbasnya, para pemandu wisata planga-plongo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ke Kawah Ijen, tim detikTravel mendaki dengan bantuan pemandu bernama Hadi Sucipto. Ia lebih dikenal dengan nama anaknya, Farel. Selama pendakian Farel curhat soal profesinya.
"Sebelum pandemi, Kawah Ijen bisa kedatangann 300 wisatawan per hari. Tapi sekarang merosot, tak ada turis," ujar Farel.
![]() |
Selama menjadi pemandu, Farel hafal betul bahwa hanya turis yang menggunakan jasanya. Sementara orang lokal sangat jarang menyewa jasa pemandu.
Harga jasa pemandu sendiri Rp 200.000 per rombongan. Dalam sehari dirinya hanya dapat naik ke Kawah Ijen dua kali di waktu normal. Namun kini pemandu lokal hanya gigit jari.
"Kebanyakan bawa pemandu dari luar, atau tur sendiri. Kami merasa dirugikan," curhatnya.
Dirinya dan para pemandu lokal seringkali tak mendapat kerjaan karena pemandu-pemandu dari liar atau pun dari luar. Padahal mereka sudah menunggu wisatawan dari tengah malam dan berujung pulang tanpa hasi.
"Kadang kita cuma jadi penonton, cuma parkir doang. Sudah beli bensin ke sini, eh pada bawa pemandu luar. Padahal kami punya sertifikat dan paling tau medan," katanya.
![]() |
Padahal arahan dari Bupati Banyuwangi, wisatawan yang naik ke Kawah Ijen harus didampingi pemandu khusus. Lagi-lagi semuanya berantakan karena pandemi.
Kawah Ijen memang sempat tutup. Namun pada bulan Juli, Kawah Ijen kembali buka dengan protokol kesehatan. Sayang, selama 3 bulan pertama tak ada wisatawan yang datang.
"Seribu aja enggak dapat," ceritanya lirih.
Saat itu Kawah Ijen menggunakan sistem booking online. Dirinya mendapat info dari petugas bahwa pesanan sudah penuh. Namun di hari H, tak ada yang datang. Untuk itu sekarang beralih lagi ke sistem awal.
Para pemandu wisata mau tak mau harus putar haluan untuk melanjutkan hidup. Menurut cerita Farel, ada yang jadi tukang bakso, kuli bangunan, petani bahkan menganggur.
Sementara Farel bekerja sebagai pemetik cengkeh. Di musim buah-buahan, dirinya masih bisa bekerja di kebun untuk mendapatkan uang.
![]() |
"Metikin cengkeh itu Rp 4.000 per kilo, saya bisa dapat 15-50 kg," jelas Farel.
Era new normal semakin digalakkan. Para pemandu wisata selalu memakai masker dan membawa sanitizer untuk wisatawan. Sejauh ini menurutnya tak ada pemandu yang terpapar Corona.
"Protokol di sini harus memakai masker, jaga jarak, dan cek suhu tubuh. Harapannya agar wisatawan kembali ke sini dan menggunakan jasa pemandu lokal," tuturnya.
(bnl/bnl)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol