Jepang Tetapkan Situasi Darurat, Mirip PPKM di Indonesia

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Jepang Tetapkan Situasi Darurat, Mirip PPKM di Indonesia

Putu Intan - detikTravel
Jumat, 08 Jan 2021 12:10 WIB
People wearing face masks to help curb the spread of the coronavirus walk in a business district in Tokyo Monday, Dec. 28, 2020. Japanese Prime Minister Yoshihide Suga says he plans to submit legislation that will make coronavirus measures legally binding for businesses, punish violators and include economic compensation as his government struggles to slow the ongoing upsurge.(Kyodo News via AP)
Foto: Kyodo News via AP
Tokyo -

Pemerintah Jepang menetapkan negaranya memasuki situasi darurat sehingga dilakukan pengetatan mobilitas. Ini dilakukan seiring bertambahnya kasus COVID-19.

Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga pada Kamis (7/1/2021) menyampaikan bahwa keadaan darurat akan berlangsung selama satu bulan, mulai 7 Januari hingga 7 Februari 2021.

Kebijakan ini berlaku untuk wilayah Tokyo dan sekitarnya, seperti Kanagawa, Saitama, dan Chiba. Daerah-daerah itu dihuni oleh 30 persen dari total populasi Jepang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam kondisi darurat, masyarakat diminta untuk menghindari keluar rumah dan meminta bar serta restoran tutup pukul 8 malam.

Bagi yang melanggar aturan ini, pemerintah Jepang akan menyebutkan nama dan mempermalukan mereka. Sedangkan bagi yang taat, pemerintah akan memberikan subsidi 60.000 yen atau sekitar Rp 8,1 juta per hari.

ADVERTISEMENT

Suga juga memberlakukan pembatasan kehadiran di acara olahraga dan lainnya menjadi 5.000 orang. Ia juga mendesak penduduk dari empat prefektur untuk bekerja dari rumah dalam upaya mengurangi lalu lintas komuter hingga 70 persen.

"Saya sangat khawatir dengan situasi yang parah di seluruh negeri baru-baru ini," kata Suga pada konferensi pers seperti dikutip dari Al Jazeera, Jumat (8/1)

"Tolong anggap masalah ini dengan serius sebagai milik Anda, untuk melindungi semua kehidupan yang berharga, kakek, nenek, keluarga dan teman-teman Anda," ia melanjutkan.

Deklarasi itu datang ketika Tokyo mencatat kasus COVID-19 harian tertinggi mencapai 2.447. Angka ini memecahkan rekor 1.591 kasus yang dilaporkan pada hari Rabu (6/1). Secara nasional, rekor baru lebih dari 7.000 kasus pada hari Kamis.

Suga pun menjanjikan lebih banyak bantuan untuk rumah sakit yang merawat pasien COVID-19. Selain itu, ia sedang mengupayakan untuk menyetujui vaksin Corona yang akan mulai disuntikkan pada akhir Februari 2021.

Kebijakan Dikritik Ahli

Profesor Kings College London Kenji Shibuya mengusulkan harusnya Jepang melakukan lockdown untuk menekan penyebaran COVID-19.

"Fokus utama Perdana Menteri adalah memperbaiki ekonomi, itu bisa dimengerti. Tetapi untuk melakukan itu, Anda benar-benar perlu menekan penularan virus," kata Shibuya.

"Mereka harus mengumumkan lockdown," katanya.

Shibuya juga mengkritik keputusan pemerintah yang menargetkan bar dan restoran. Ia mengatakan dalam 60 persen kasus, penderita tidak tahu dari mana mereka tertular.

"Bisa jadi rumah tangga, ruang kerja, sekolah, kami tidak tahu. Tetap saja, mereka mengatakan bahwa makan di luar adalah sumber utama penularan, yang belum tentu didukung bukti," ia menjelaskan.

Sementara itu Hiroshi Nishiura, seorang ahli epidemiologi di Universitas Kyoto, mengatakan pada hari Selasa bahwa membatasi jam kerja untuk restoran di Tokyo hanya akan mengurangi kasus menjadi sekitar 1.300 per hari pada akhir Februari 2021.

Jumlah tersebut jauh lebih tinggi daripada 500 kasus per hari yang menurut Yasutoshi Nishimura, menteri yang bertanggung jawab atas tanggap darurat pandemi Jepang, diperlukan agar deklarasi darurat itu dicabut.

Nishiura mengatakan agar kasus-kasus turun ke tingkat yang dapat dikelola, deklarasi darurat perlu berlangsung setidaknya dua bulan dan pembatasan perlu diperketat.

"Keberhasilan harus diutamakan jika pemerintah berencana mengumumkan keadaan darurat," ujarnya.

"Jika upaya itu gagal, bisa jadi ada kerusakan sosial dan ekonomi yang sangat besar, selain kerusakan psikologis," paparnya.


Hide Ads